Sabtu, 30 Januari 2010 09:57 WIB
TEMPO Interaktif, Jayapura - Dewan Pimpinan Rakyat Papua (DPRP) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menarik seluruh pasukan TNI ataupun Polri dari areal PT Freeport Indonesia di Timika, Papua.
TEMPO Interaktif, Jayapura - Dewan Pimpinan Rakyat Papua (DPRP) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menarik seluruh pasukan TNI ataupun Polri dari areal PT Freeport Indonesia di Timika, Papua.
Menurut Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai, adanya aparat keamanan di areal itu atas surat keputusan dari presiden, sehingga hanya presiden yang bisa menarik pasukan tersebut. Sebab, sejak adanya aparat keamanan justru tak membawa ketentraman bagi masyarakat setempat ataupun bagi karyawan yang bekerja di sana. Buktinya, penembakan terus terjadi.
“Kita akan lihat sama-sama, setelah aparat keluar dari areal itu dan pengamanannya dikembalikan kepada satuan pengamanan dari perusahaan itu sendiri, apa yang akan terjadi,” katanya kepada wartawan, Sabtu (30/1) di Jayapura.Sebelumnya memang, kata Ruben, pengamanan di obyek vital nasional itu dijaga oleh TNI. Namun pada 2006 diganti oleh polisi bersamaan dengan keputusan dari presiden. “Yang kami desak hari ini adalah Presiden SBY menarik, mengubah, dan mengevaluasi sistem pengamanan di sana,” ujarnya.
Jadi, tegas Ruben, jika alat negara sudah tidak mampu dengan kehadiran PT Freeport sejak 1967 sampai hari ini, lebih baik ditarik. Sebab masyarakat asli Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro yang mempunyai hak ulayat di sekitar perusahaan itu sudah terlalu banyak dikorbankan. Ini hanya fungsi pengamanan yang tidak jalan.
“Ini sangat memalukan bagi dunia dan nasional, pasukan yang sudah difasilitasi oleh negara, oleh PT Freeport Indonesia, justru terus mengorbankan orang Papua. Kesejahteraan apa lagi yang mereka tuntut, sehingga kami terus dikorbankan, kami juga manusia bukan binatang, kenapa kami terus diperalat, dibunuh. Tidak ada artinya pengamanan di sana,” tandasnya.Apalagi, Ruben melanjutkan, dengan alasan bahwa orang Papua adalah separatis dan terus mengkambinghitamkan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga seenaknya bisa dibunuh.
DPRP juga minta kepada pemerintah pusat untuk tidak terus memindahkan Kapolda Papua, sebelum dapat mengungkap pelaku rangkaian peristiwa di areal Freeport itu. “Seharusnya Polda tuntaskan persoalan ini. Satu masalah belum diselesai, tapi dipindahkan, apa kinerjanya yang diukur. Misalnya satu orang Papua dibunuh dan pangkatnya dinaikkan, lalu dipindahtugaskan, apa maksudnya ini. Janganlah cari pangkat dan makan di Papua, dengan cara membantai orang Papua. Kami ini juga manusia,” urai Ruben.
DPRP berharap persoalan di Freeport segera dapat diselesaikan, sebab justru aparat keamanan menjaga areal itu, tidak menjamin keamanan akan terwujud di sana. DPRP sangat berharap Amerika Serikat dan Indonesia dapat duduk bersama untuk melihat persoalan di Freeport.
“Pemerintah pusat tidak boleh melihat sebelah mata rentetan kejadian di PT FI, mulai dari tahun 1961 kemudian 1967 sampai hari ini, lebih dari 100 ribu orang Papua dikorbankan, maka harus dievaluasi pengamanan di sana,” jelasnya.
Terlebih juga kepada pemerintah daerah setempat, DPRP minta agar Gubernur Papua Barnabas Suebu tidak tinggal diam dengan masalah di Freeport. Sebab selama ini, menurut Ruben, gubernur hanya keluar negeri terus, tak pernah tinggal lama di Papua.
“Untuk apa keluar negeri jika tak membawa hasil untuk masyarakat Papua. Hentikan pergi keluar daerah, urus rakyat yang sedang dikorbankan ini,” ujarnya.
Sebelumnya, permintaan penarikan aparat TNI/Polri dari areal Freeport juga datang dari Dewan Adat Papua (DAP). Alasannya, menurut Ketua DAP, Forkorus Yoboisembut, hanya kesatuan TNI dan Polri yang mempunyai senjata api.
“Selama ini kan penembakan yang terjadi diakibatkan oleh senjata api. Jika kesatuan ini ditarik dari areal itu, apakah ada penembakan lagi yang dapat menimbulkan korban? Makanya kita lihat saja, jika aparat keamanan ditarik, apa yang akan terjadi selanjutnya,” ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar