SETELAH pemerintah dan TNI mengakui kebenaran muatan video tentang sebuah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua oleh oknum personel militer Indonesia, tema yang akan dimunculkan para pemerhati dan penggiat HAM adalah progres tentang reformasi di tubuh TNI. Akan dihadirkan banyak pertanyaan, pernyataan sikap yang meragukan, hingga mungkin saja ketidakpercayaan. Itulah ekses yang kita perkirakan akan dihadapi TNI setelah kasus dugaan penyiksaan itu dihadirkan di dunia maya oleh organisasi hak asasi Asian Human Rights Commissions. Video itu menunjukkan beberapa pria berseragam TNI menyiksa penduduk dengan pertanyaan di seputar separatis di daerah tinggi Nambut, Puncak Jaya.
Seperti diketahui, pengakuan atau konfirmasi kebenaran tentang masalah ini telah disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto kepada pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/10), mengacu pada hasil penyelidikan oleh TNI, Kementerian Pertahanan, dan Kemenko Polhukam. "Ada tindakan prajurit di lapangan yang berlebihan," ujar Djoko, didampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Kita mengapresiasi keterbukaan yang diperlihatkan pemerintah dan TNI, serta berharap persoalannya segera dituntaskan. Agar persoalannya tidak berlarut-larut, penyelesaian internal masalah ini harus bisa dipahami dan diterima semua elemen masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa kasus di Papua itu amat sangat mengganggu sejumlah program pembangunan atau revitalisasi angkatan bersenjata kita. Kita sedang memprogramkan rencana belanja alutsista dengan nilai yang tidak kecil. Realisasi rencana belanja itu bisa saja tidak berjalan mulus akibat terungkapnya kasus terbaru pelanggaran HAM di Papua itu. Apalagi kalau barang belanjaan kita bersumber dari produsen yang dikontrol Barat atau NATO.
Paling mengkhawatirkan kita adalah prospek kerja sama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI dengan Amerika Serikat (AS) yang akan diperbarui. Dalam kunjungannya ke Jakarta, Juli lalu, Menhan AS Robert Gates mengumumkan bahwa AS akan mencabut embargo yang diberlakukan sejak 1998 terhadap Kopassus akibat pelanggaran HAM berat di Timor Leste, Papua, Aceh dan penghilangan para aktivis HAM. Pernyataan Menhan Gates di Jakarta itu langsung direspons dengan keras oleh senator Patrick Leahy dari Vermont, AS. Senator senior ini menyuarakan penyesalan atas sikap Pemerintah AS terhadap Kopassus. Intinya, Leahy tidak percaya TNI telah melakukan reformasi internal.
Bukan tidak mungkin Leahy akan memanfaatkan kasus terbaru pelanggaran HAM di Papua itu untuk terus memojokkan TNI sekaligus mengganggu proses pembaruan kerja sama dengan Kopassus. Sikap yang akan diambil Leahy akan diamini para penggiat HAM mancanegara. Kalau hal ini terjadi, Indonesia dan Pemerintah AS akan sama-sama direpotkan.
Kita mendorong dan mengimbau semua prajurit TNI untuk menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran. Di mana pun Anda bertugas dan sekeras apa pun medan tugas Anda, setiap sikap dan tindakan harus terukur, sesuai prosedur dan berusahalah sebisa mungkin untuk tidak melanggar standar-standar HAM. Itulah konsekuensi yang harus kita jalani karena Indonesia sudah menyepakati konvensi tentang penghormatan HAM. Apalagi, kita pun sudah dikenal dunia sebagai negara demokrasi.
Dalam era teknologi tinggi sekarang ini, tak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi, disembunyikan atau dirahasiakan. Lihatlah buktinya. Sebuah kasus pelanggaran HAM di pedalaman Papua sekalipun dengan cepat bisa diketahui jutaan orang di seluruh dunia. Itu bukti ketajaman penglihatan mata dunia sekarang ini.
Seperti diketahui, pengakuan atau konfirmasi kebenaran tentang masalah ini telah disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto kepada pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/10), mengacu pada hasil penyelidikan oleh TNI, Kementerian Pertahanan, dan Kemenko Polhukam. "Ada tindakan prajurit di lapangan yang berlebihan," ujar Djoko, didampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono. Kita mengapresiasi keterbukaan yang diperlihatkan pemerintah dan TNI, serta berharap persoalannya segera dituntaskan. Agar persoalannya tidak berlarut-larut, penyelesaian internal masalah ini harus bisa dipahami dan diterima semua elemen masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri.
Tidak berlebihan jika kita berpendapat bahwa kasus di Papua itu amat sangat mengganggu sejumlah program pembangunan atau revitalisasi angkatan bersenjata kita. Kita sedang memprogramkan rencana belanja alutsista dengan nilai yang tidak kecil. Realisasi rencana belanja itu bisa saja tidak berjalan mulus akibat terungkapnya kasus terbaru pelanggaran HAM di Papua itu. Apalagi kalau barang belanjaan kita bersumber dari produsen yang dikontrol Barat atau NATO.
Paling mengkhawatirkan kita adalah prospek kerja sama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI dengan Amerika Serikat (AS) yang akan diperbarui. Dalam kunjungannya ke Jakarta, Juli lalu, Menhan AS Robert Gates mengumumkan bahwa AS akan mencabut embargo yang diberlakukan sejak 1998 terhadap Kopassus akibat pelanggaran HAM berat di Timor Leste, Papua, Aceh dan penghilangan para aktivis HAM. Pernyataan Menhan Gates di Jakarta itu langsung direspons dengan keras oleh senator Patrick Leahy dari Vermont, AS. Senator senior ini menyuarakan penyesalan atas sikap Pemerintah AS terhadap Kopassus. Intinya, Leahy tidak percaya TNI telah melakukan reformasi internal.
Bukan tidak mungkin Leahy akan memanfaatkan kasus terbaru pelanggaran HAM di Papua itu untuk terus memojokkan TNI sekaligus mengganggu proses pembaruan kerja sama dengan Kopassus. Sikap yang akan diambil Leahy akan diamini para penggiat HAM mancanegara. Kalau hal ini terjadi, Indonesia dan Pemerintah AS akan sama-sama direpotkan.
Kita mendorong dan mengimbau semua prajurit TNI untuk menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran. Di mana pun Anda bertugas dan sekeras apa pun medan tugas Anda, setiap sikap dan tindakan harus terukur, sesuai prosedur dan berusahalah sebisa mungkin untuk tidak melanggar standar-standar HAM. Itulah konsekuensi yang harus kita jalani karena Indonesia sudah menyepakati konvensi tentang penghormatan HAM. Apalagi, kita pun sudah dikenal dunia sebagai negara demokrasi.
Dalam era teknologi tinggi sekarang ini, tak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi, disembunyikan atau dirahasiakan. Lihatlah buktinya. Sebuah kasus pelanggaran HAM di pedalaman Papua sekalipun dengan cepat bisa diketahui jutaan orang di seluruh dunia. Itu bukti ketajaman penglihatan mata dunia sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar