Saturday, 19 June 2010
JAKARTA (SI) — Pemberian hak pilih kepada TNI pada pemilihan umum (pemilu) dinilai dapat mengganggu kesatuan negara Republik Indonesia.Sebagai institusi pertahanan negara,TNI semestinya terbebas dari kekuatan politik.
JAKARTA (SI) — Pemberian hak pilih kepada TNI pada pemilihan umum (pemilu) dinilai dapat mengganggu kesatuan negara Republik Indonesia.Sebagai institusi pertahanan negara,TNI semestinya terbebas dari kekuatan politik.
“ TNI sebaiknya lebih profesional berada di atas kekuatan politik,” kata anggota Komisi I DPR Hidayat Nurwahid saat ditemui di lokasi Musyawarah Nasional (Munas) II Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta kemarin. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu mengkhawatirkan, jika TNI kembali mendapatkan hak pilih pada Pemilu 2004, peristiwa pada Pemilu 1955 terulang.Karena itu,sekali mantan Presiden PKS ini menegaskan, TNI harus terbebas dari kekuatan politik untuk menjamin NKRI tidak tercabik-cabik. Kekhawatiran sama disampaikan anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arif Wibowo.Menurutnya, keterlibatan TNI dalam politik berpotensi menimbulkan konflik kekerasan yang berujung pada kembalinya kekuasaan otoritarian.
“Saat ini saja belum dapat dipastikan TNI semata alat negara. Pasalnya, dalam berbagai kasus pemilu ada dugaan keterlibatan TNI yang menguntungkan incumbent,”ujarnya. Menurutnya, sebelum mendapat kesempatan menggunakan hak pilihnya, TNI harus memastikan kesiapan internal seperti sejauh mana budaya demokrasi telah matang dalam tubuh TNI mengingat otoritas yang kuat dalam penguasaan dan penggunaan senjata. Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap juga menilai implemensi hak pilih TNI dalam pemilu tergantung sejauh mana demokratisasi di internal TNI.Menurutnya, sebelum dipastikan apakah TNI bisa kembali berpartisipasi pada Pemilu 2014 nanti, perlu ada kajian mendalam tentang perlunya pemberian hak pilih bagi TNI.
“Komando di TNI sangat kuat.Lalu apakah komando itu bisa dipisahkan dengan wilayah politik pribadi anggota,” ujarnya. Wacana pemberian kembali hak pilih TNI pada Pemilu 2014 bergulir setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan TNI berhak memberikan suaranya pada pemilu. Namun mantan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI ini menggariskan bahwa semua hak TNI ini harus terlebih dahulu dibahas pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang. Pernyataan Presiden merespons Panglima TNI Djoko Santoso.
Usai melakukan serah terima jabatan Komandan Paspampres di Mako Paspampres,Tanah Abang, Rabu (16/6) lalu dia mengaku Mabes TNI tengah mengkaji hak pilih bagi prajurit TNI pada Pemilu 2014.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai masih banyak yang perlu dipersiapkan untuk mengakomadasi hak pilih prajurit TNI. Diantaranya perangkat dan infrastruktur berupa aturanaturan yang jelas, ketat, dan rinci agar dapat mempersempit ruang gerak penyalahgunaan dan penyelewengan hak pilih tersebut.
“Untuk meminimalisir kekhawatiran berbagai pihak. Harus dibuat aturan yang tegas, diperjelas hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan,”ujarnya,di Jakarta,kemarin. Jika pemerintah dapat memenuhi kata Indria maka tidak ada alasan lagi untuk menunda pemberian hak pilih bagi anggota TNI. Sementara Direktur Program Imparsial Al Araf menggariskan, hak berpartisipasi dalam Pemilu bagi prajurit TNI jangan hanya dilihat dari sekedar perspektif HAM.Menurutnya banyak faktor yang saling terkait dan harus benar-benar terselesaikan jika ingin melibatkan anggota TNI dalam pemilu mendatang, terutama dari segi kesiapan internal TNI dan partai-partai politik. “Hak memilih bagian dari pemenuhan hak warga negara.Semua negara demokratis yang sudah mapan seperti Jerman dan Amerika Serikat memberikan ruangkepada anggota militernya untuk memilih dalam Pemilu.Tapi persoalannya tidak semudah itu meniru mereka,” ujarnya.
Araf melihat kedewasaan politik di internal TNI untuk melihat perbedaan dalam pilihan politik merupakan salah satu faktor yang masih harus diperhitungkan.”Jika yang berbeda pandangan tersebut adalah kaum bersenjata dan terlatih untuk mobilisasi serta pengalangan tanpa ada kedewasaan ini berbahaya,”katanya. Dia juga menyoroti persoalan kultur dalam institusi TNI yang diragukan dapat mengakomodasi dan menjamin independensi anggota TNI untuk menentukan pilihan.“ Misalnya saja prajurit yang ditugasi sebagai sopir, dia juga diperintah komandannya sekaligus untuk sopir istri komandan yang sebenarnya bukan tugasnya dan ini persoalan yang biasa di TNI.Apakah kultur seperti ini nantinya tidak akan terbawa,” katanya. Adapun persoalan dari luar berkisar sejauh mana partai-partai politik tidak menarik-narik anggota TNI masuk dalam pusaran politik praktis. (pasti liberti/adam prawira)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar