Senin, 21 Juni 2010
JAKARTA (Suara Karya): Tentara Nasional Indonesia sebaiknya tidak sendiri-sendiri melakukan kajian terhadap wacana prajurit TNI ikut memilih dalam pemilu dan pilkada. Pihak luar institusi juga perlu dilibatkan, seperti Kementerian Pertahanan, perguruan tinggi (akademisi), peneliti maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap dunia militer dan pertahanan.
"TNI jangan mengkaji sendiri atas wacana mengembalikan prajurit pada politik praktis. Mengembalikan hak pilih prajurit dalam demokrasi di Tanah Air harus melibatkan pihak-pihak dari luar institusinya," ujar pengamat militer dan pertahanan Letjen (Purn) Agus Widjojo di Jakarta, akhir pekan lalu. Berdasarkan catatan Suara Karya, wacana mengembalikan TNI pada dwi fungsi kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial telah menggelinding di tengah masyarakat sejak akhir 2008 lalu. Wacana itu pun kembali dibahas TNI dalam waktu dekat di Sesko TNI.
Menurut Agus mengatakan, untuk mengembalikan hak ilih prajurit pada pemilu dan pilkada harus diikuti dengan keputusan politik. Karena hak pilih telah menjadi bagian otoritasi politik. "Untuk mengembalikan prajurit untuk menggunakan hak pilihnya, sebaiknya diikuti dengan keputusan politik yang dimiliki pemerintah, seperti Kementerian Pertahanan. Selanjutnya, Kementerian Pertahanan melanjutkan usulan tersebut kepada presiden," ujarnya.
Keinginan Politik
Awal persiapan menuju prajurit boleh memilih atau dipilih, tutur Agus, pemerintah dan institusi TNI harus benar-benar mampu menjelaskan dan menyosialisasikan hak politik tersebut kepada seluruh prajurit TNI. Penjelasan terkait hak memilih sebagai warga negara, yang harus dipisahkan dari kewenangan rantai komando di TNI. Selain itu, juga harus dijelaskan hak memilih bukanlah segala-galanya sehingga tidak sampai merusak Sapta Marga dan Sumpah Prajurit TNI. Seorang prajurit TNI juga harus memilih tidak dengan dipengaruhi kewenangan komandannya.
Dari sana masyarakat, ucap Agus, bisa melihat apakah pemerintah dan terutama institusi TNI benar-benar berniat dan punya keinginan politik untuk mengembalikan hak pilih tadi dan sekaligus menjamin pelaksanaannya tidak akan bermasalah. "Alasan apa pun, baik untuk mendukung maupun menentang, bisa saja diadakan (dibuat). Pengkajian dan survei boleh saja dilakukan sekadar untuk memberi gambaran kemungkinan kendala. Akan tetapi keputusan untuk memilih atau tidak jangan didasari hasil survei tersebut. Jangan serahkan atau tawarkan keputusan soal itu ke TNI," ujar Agus.
JAKARTA (Suara Karya): Tentara Nasional Indonesia sebaiknya tidak sendiri-sendiri melakukan kajian terhadap wacana prajurit TNI ikut memilih dalam pemilu dan pilkada. Pihak luar institusi juga perlu dilibatkan, seperti Kementerian Pertahanan, perguruan tinggi (akademisi), peneliti maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap dunia militer dan pertahanan.
"TNI jangan mengkaji sendiri atas wacana mengembalikan prajurit pada politik praktis. Mengembalikan hak pilih prajurit dalam demokrasi di Tanah Air harus melibatkan pihak-pihak dari luar institusinya," ujar pengamat militer dan pertahanan Letjen (Purn) Agus Widjojo di Jakarta, akhir pekan lalu. Berdasarkan catatan Suara Karya, wacana mengembalikan TNI pada dwi fungsi kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial telah menggelinding di tengah masyarakat sejak akhir 2008 lalu. Wacana itu pun kembali dibahas TNI dalam waktu dekat di Sesko TNI.
Menurut Agus mengatakan, untuk mengembalikan hak ilih prajurit pada pemilu dan pilkada harus diikuti dengan keputusan politik. Karena hak pilih telah menjadi bagian otoritasi politik. "Untuk mengembalikan prajurit untuk menggunakan hak pilihnya, sebaiknya diikuti dengan keputusan politik yang dimiliki pemerintah, seperti Kementerian Pertahanan. Selanjutnya, Kementerian Pertahanan melanjutkan usulan tersebut kepada presiden," ujarnya.
Keinginan Politik
Awal persiapan menuju prajurit boleh memilih atau dipilih, tutur Agus, pemerintah dan institusi TNI harus benar-benar mampu menjelaskan dan menyosialisasikan hak politik tersebut kepada seluruh prajurit TNI. Penjelasan terkait hak memilih sebagai warga negara, yang harus dipisahkan dari kewenangan rantai komando di TNI. Selain itu, juga harus dijelaskan hak memilih bukanlah segala-galanya sehingga tidak sampai merusak Sapta Marga dan Sumpah Prajurit TNI. Seorang prajurit TNI juga harus memilih tidak dengan dipengaruhi kewenangan komandannya.
Dari sana masyarakat, ucap Agus, bisa melihat apakah pemerintah dan terutama institusi TNI benar-benar berniat dan punya keinginan politik untuk mengembalikan hak pilih tadi dan sekaligus menjamin pelaksanaannya tidak akan bermasalah. "Alasan apa pun, baik untuk mendukung maupun menentang, bisa saja diadakan (dibuat). Pengkajian dan survei boleh saja dilakukan sekadar untuk memberi gambaran kemungkinan kendala. Akan tetapi keputusan untuk memilih atau tidak jangan didasari hasil survei tersebut. Jangan serahkan atau tawarkan keputusan soal itu ke TNI," ujar Agus.
Secara terpisah, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen TNI I Wayan Midhio mengakui, Kemenhan belum pernah menerima undangan dari TNI untuk ikut serta dalam kajian atas wacana prajurit TNI memiliki hak suara ada pemilu dan pilkada.
Secara institusi, tidak ada permintaan agar Kemenhan ikut dalam pengkajian dan penelitian itu. "Namun, secara personal ada beberapa pejabat Kemenhan yang dilibatkan. Sifatnya bukan atas nama institusi Kemenhan," ujarnya. Secara personal, menurut Wayan, prajurit TNI siap terlibat langsung dalam politik praktis. Artinya, prajurit TNI akan mengedepankan independensinya terhadap pilihannya. (Feber S)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar