Jakarta, Jawa Post - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mendukung wacana pemberian hak pilih untuk TNI. Sebab, hak pilih merupakan hak asasi yang diakui seluruh dunia dan melekat pada diri seseorang.
”Hak untuk memilih itu adalah hak asasi dalam semua konstitusi dunia. Saya kira boleh mulai 2014, ”katanya di gedung MK kemarin (32/6).
Selain itu imbuh dia, dalam semua konvensi internasional hak pilih merupakan hak asasi yang melekat pada hak pribadi, bukan pada institusi seperti TNI. ”Karena itu sejak dulu saya mengatakan TNI dan Polri dipersilahkan saja memilih, Itu hak asasi,”
Pada 1955 saat TNI dan Polri memiliki hak pilih, kata Mahfud tidak terjadi hal-hal yang membahayakan.”Tidak apa-apa tuh. Tidak ada perpecahan. Mana perpecahan ? Perpecahan bukan karena TNI-Polisi memilih. Itu separatis di berbagai daerah karena ketidak puasan terhadap pusat,”ungkapnya.
Teknis menunaikan hak pilih itu, jelas dia, bisa diatur sedemikian rupa. Dia menyarankan Polri dan TNI tidak memilih di satu tempat. Tapi harus terpisah di TPS-TPS berbeda.”Kalau dilakukan di tangsi-asrama atau barak-barak militer, akan ketahuan memilih ini semua. Karena itu disebar sehingga kerahasiaan terjamin, ” jelasnya. Selain itu ujar dia kalau dipisah pilihan anak buah tidak akan bisa dimonitor sang Komandan.
Di tempat terpisah mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution secara tegas menolak usul pemberian hak pilih kepada TNI pada pemilu 2014. Dia berpandangan proses untuk mendorong profesonalisme di internal TNI masih belum tuntas.
”Saya tidak setuju. Sementara ini jangan dipikirkan dululah. Kita masih berusaha membuat TNI yang sebelumnya secara politik penuh ambisi untuk berkuasa supaya kembali normal dulu sebagai prajurit yang profesional, ”katanya setalah meresmikan Constistution Centre Adnan Buyung Nasution (Concern ABN) di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat Kemarin.
Dia menyebutkan, di negara-negara yang tentaranya sudah profesional, militer tidak mau campur tangan dalam politik. Dalam konteks Indonesia, menurut Buyung masih butuh waktu sebelum melibatkan TNI dalam pemilu.
Biarkanlah (ambisi berkuasa, Red) teredam dulu, Kalau sudah menjadi prajurit profesonal, pelan-pelan kita pilih sistem apa yang akan kita pakai untuk perbaikan supaya mereka bisa lebih berperan, ujarnya.
”Hak untuk memilih itu adalah hak asasi dalam semua konstitusi dunia. Saya kira boleh mulai 2014, ”katanya di gedung MK kemarin (32/6).
Selain itu imbuh dia, dalam semua konvensi internasional hak pilih merupakan hak asasi yang melekat pada hak pribadi, bukan pada institusi seperti TNI. ”Karena itu sejak dulu saya mengatakan TNI dan Polri dipersilahkan saja memilih, Itu hak asasi,”
Pada 1955 saat TNI dan Polri memiliki hak pilih, kata Mahfud tidak terjadi hal-hal yang membahayakan.”Tidak apa-apa tuh. Tidak ada perpecahan. Mana perpecahan ? Perpecahan bukan karena TNI-Polisi memilih. Itu separatis di berbagai daerah karena ketidak puasan terhadap pusat,”ungkapnya.
Teknis menunaikan hak pilih itu, jelas dia, bisa diatur sedemikian rupa. Dia menyarankan Polri dan TNI tidak memilih di satu tempat. Tapi harus terpisah di TPS-TPS berbeda.”Kalau dilakukan di tangsi-asrama atau barak-barak militer, akan ketahuan memilih ini semua. Karena itu disebar sehingga kerahasiaan terjamin, ” jelasnya. Selain itu ujar dia kalau dipisah pilihan anak buah tidak akan bisa dimonitor sang Komandan.
Di tempat terpisah mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution secara tegas menolak usul pemberian hak pilih kepada TNI pada pemilu 2014. Dia berpandangan proses untuk mendorong profesonalisme di internal TNI masih belum tuntas.
”Saya tidak setuju. Sementara ini jangan dipikirkan dululah. Kita masih berusaha membuat TNI yang sebelumnya secara politik penuh ambisi untuk berkuasa supaya kembali normal dulu sebagai prajurit yang profesional, ”katanya setalah meresmikan Constistution Centre Adnan Buyung Nasution (Concern ABN) di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat Kemarin.
Dia menyebutkan, di negara-negara yang tentaranya sudah profesional, militer tidak mau campur tangan dalam politik. Dalam konteks Indonesia, menurut Buyung masih butuh waktu sebelum melibatkan TNI dalam pemilu.
Biarkanlah (ambisi berkuasa, Red) teredam dulu, Kalau sudah menjadi prajurit profesonal, pelan-pelan kita pilih sistem apa yang akan kita pakai untuk perbaikan supaya mereka bisa lebih berperan, ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar