Senin, 28 Juni 2010
JAKARTA (Suara Karya): DPR mendorong revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengakomodasi hak pilih bagi TNI dalam pemilu mendatang. Sementara itu, banyak pihak menilai hal tersebut perlu waktu dan dukungan legislasi. Demikian kumpulan pendapat Sekretaris Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR Ade Komarudin, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar HR Agung Laksono, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, anggota DPR dari Fraksi PKS Agus Purnomo, yang dikemukakan secara terpisah di Jakarta, kemarin.
"Undang-undang mengenai TNI harus segera diamandemen jika pemerintah serius akan memberikan hak tersebut. Pasalnya, dalam UU tersebut, TNI belum diperbolehkan untuk memilih," kata Ade Komarudin. Ia mengaku tak terlalu khawatir trauma masa lalu akan terulang jika hak pilih bagi TNI diberikan. TNI saat ini sudah jauh berbeda. "Saya tidak terlalu khawatir soal itu. Boleh saja sebagai perhatian (trauma masa lalu), tapi saya melihat TNI telah mereformasi diri. Bagi kami (Golkar) tidak ada alasan lagi," ujar Ade.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan, penggunaan hak pilih TNI menunggu undang-undang. "Tunggu undang-undang," kata Djoko Santoso, usai menghadiri peringatan puncak Hari Antinarkoba Internasional 2010 di Jakarta, akhir pekan lalu. Djoko menegaskan, pemberian hak pilih bagi TNI harus konstitusional. "Jadi, harus mengacu pada UU yang mengatur mengenai itu. Semua masih harus dikaji lebih dalam. Tetapi semua itu harus konstitusional," katanya. Hal sama dikemukakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar HR Agung Laksono. Ia menilai, pemberian hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilu bagi anggota TNI/Polri hanya persoalan waktu saja.
"Pemberian hak pilih bagi TNI/Polri itu tinggal menunggu waktu saja," ujarnya saat berbincang-bincang dengan sejumlah wartawan, di Jakarta, kemarin. Menurut Agung, yang juga Menko Kesra itu, kini ada hal yang harus diselesaikan berdasarkan skala prioritas bagi TNI/Polri sebelum diberikan hak politik, yaitu menuntaskan agenda reformasi internal, meningkatkan profesionalitas serta penambahan anggaran TNI/Polri sehingga mereka memiliki alat utama sistem pertahanan (alutsista) memadai.
"Jadi, utamakan dulu hal-hal yang pokok itu. Kalau berbagai prioritas ini sudah dipenuhi TNI/Polri, barulah hak politik untuk mereka kita berikan," ujarnya seraya menekankan bahwa pemberian hak politik bagi kalangan TNI/Polri itu jangan dipaksakan dilaksanakan untuk Pemilu 2014 karena kedua institusi itu sendiri juga tidak ingin buru-buru memilikinya. Lebih lanjut, Agung mengatakan, dirinya tidak khawatir TNI/Polri akan terpecah-belah jika mereka menggunakan hak pilihnya apabila berbagai kebutuhan utama mereka telah terpenuhi dan hak tersebut diberikan pada saat yang tepat.
"Kami yakin apabila TNI/Polri sudah semakin profesional, ancaman pecah-belah atau tidak netral itu akan terhapus dengan sendirinya," ujarnya. Dalam pandangan Agung, agar TNI/Polri tidak lagi menjadi instrumen yang digunakan bagi kepentingan partai politik tertentu, maka sejumlah kondisi yang tepat harus diperhatikan, semisal hak tersebut baru diberikan pada saat sistem multipartai di Indonesia sudah bisa disederhanakan. Sementara itu, anggota DPR Fraksi PKS Agus Purnomo mengatakan, peluang mewujudkan anggota TNI dapat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014 sangat terbuka. Jika dipetakan antara fraksi yang setuju dengan yang tidak setuju, maka mayoritas suara yang setuju lebih besar dibandingkan dengan yang tidak setuju.
Mantan anggota Pansus RUU Pemilu ini menyebutkan, untuk mengubah rumusannya pun sangat mudah, karena cukup menghilangkan satu pasal yang selama ini dinilainya menjadi pengikat bagi TNI dalam menggunakan hak pilihnya. "Kalau misalnya TNI diberikan hak pilih, maka hanya menghilangkan Pasal 318 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu. Cukup dilakukan revisi terbatas, karena hanya menghilangkan atau tetap mempertahankan," ucapnya. Pasal 318, tutur Agus, menegaskan bahwa dalam Pemilu 2009, anggota TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tak menggunakan haknya untuk memilih. Sedangkan amanat konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945 menyatakan tentang perlunya negara memberikan jaminan hak dasar bagi tiap warga negara.
"Jadi, menurut saya, hak-hak warga negara itu sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya karena profesi. Karena jabatan sebagai anggota TNI itu kan profesi. Kami sendiri di PKS tidak merasa khawatir soal kecurigaan adanya keberpihakan TNI jika diberikan hak pilih," kata anggota Komisi II DPR ini.
Dia mengaku heran terhadap sejumlah parpol yang khawatir terhadap pemberian hak pilih bagi TNI, padahal kalau dilihat dari hubungan historisnya justru PKS tidak diuntungkan, karena hampir semua parpol memiliki tokoh yang berasal dari petinggi TNI maupun Polri, yang tentunya memiliki hubungan historis, terutama Golkar, Hanura, Gerindra, termasuk Demokrat. (Rully/Joko S/Wahyudi/Ant/Pudyo)
JAKARTA (Suara Karya): DPR mendorong revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengakomodasi hak pilih bagi TNI dalam pemilu mendatang. Sementara itu, banyak pihak menilai hal tersebut perlu waktu dan dukungan legislasi. Demikian kumpulan pendapat Sekretaris Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR Ade Komarudin, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar HR Agung Laksono, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, anggota DPR dari Fraksi PKS Agus Purnomo, yang dikemukakan secara terpisah di Jakarta, kemarin.
"Undang-undang mengenai TNI harus segera diamandemen jika pemerintah serius akan memberikan hak tersebut. Pasalnya, dalam UU tersebut, TNI belum diperbolehkan untuk memilih," kata Ade Komarudin. Ia mengaku tak terlalu khawatir trauma masa lalu akan terulang jika hak pilih bagi TNI diberikan. TNI saat ini sudah jauh berbeda. "Saya tidak terlalu khawatir soal itu. Boleh saja sebagai perhatian (trauma masa lalu), tapi saya melihat TNI telah mereformasi diri. Bagi kami (Golkar) tidak ada alasan lagi," ujar Ade.
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengatakan, penggunaan hak pilih TNI menunggu undang-undang. "Tunggu undang-undang," kata Djoko Santoso, usai menghadiri peringatan puncak Hari Antinarkoba Internasional 2010 di Jakarta, akhir pekan lalu. Djoko menegaskan, pemberian hak pilih bagi TNI harus konstitusional. "Jadi, harus mengacu pada UU yang mengatur mengenai itu. Semua masih harus dikaji lebih dalam. Tetapi semua itu harus konstitusional," katanya. Hal sama dikemukakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar HR Agung Laksono. Ia menilai, pemberian hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilu bagi anggota TNI/Polri hanya persoalan waktu saja.
"Pemberian hak pilih bagi TNI/Polri itu tinggal menunggu waktu saja," ujarnya saat berbincang-bincang dengan sejumlah wartawan, di Jakarta, kemarin. Menurut Agung, yang juga Menko Kesra itu, kini ada hal yang harus diselesaikan berdasarkan skala prioritas bagi TNI/Polri sebelum diberikan hak politik, yaitu menuntaskan agenda reformasi internal, meningkatkan profesionalitas serta penambahan anggaran TNI/Polri sehingga mereka memiliki alat utama sistem pertahanan (alutsista) memadai.
"Jadi, utamakan dulu hal-hal yang pokok itu. Kalau berbagai prioritas ini sudah dipenuhi TNI/Polri, barulah hak politik untuk mereka kita berikan," ujarnya seraya menekankan bahwa pemberian hak politik bagi kalangan TNI/Polri itu jangan dipaksakan dilaksanakan untuk Pemilu 2014 karena kedua institusi itu sendiri juga tidak ingin buru-buru memilikinya. Lebih lanjut, Agung mengatakan, dirinya tidak khawatir TNI/Polri akan terpecah-belah jika mereka menggunakan hak pilihnya apabila berbagai kebutuhan utama mereka telah terpenuhi dan hak tersebut diberikan pada saat yang tepat.
"Kami yakin apabila TNI/Polri sudah semakin profesional, ancaman pecah-belah atau tidak netral itu akan terhapus dengan sendirinya," ujarnya. Dalam pandangan Agung, agar TNI/Polri tidak lagi menjadi instrumen yang digunakan bagi kepentingan partai politik tertentu, maka sejumlah kondisi yang tepat harus diperhatikan, semisal hak tersebut baru diberikan pada saat sistem multipartai di Indonesia sudah bisa disederhanakan. Sementara itu, anggota DPR Fraksi PKS Agus Purnomo mengatakan, peluang mewujudkan anggota TNI dapat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014 sangat terbuka. Jika dipetakan antara fraksi yang setuju dengan yang tidak setuju, maka mayoritas suara yang setuju lebih besar dibandingkan dengan yang tidak setuju.
Mantan anggota Pansus RUU Pemilu ini menyebutkan, untuk mengubah rumusannya pun sangat mudah, karena cukup menghilangkan satu pasal yang selama ini dinilainya menjadi pengikat bagi TNI dalam menggunakan hak pilihnya. "Kalau misalnya TNI diberikan hak pilih, maka hanya menghilangkan Pasal 318 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu. Cukup dilakukan revisi terbatas, karena hanya menghilangkan atau tetap mempertahankan," ucapnya. Pasal 318, tutur Agus, menegaskan bahwa dalam Pemilu 2009, anggota TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tak menggunakan haknya untuk memilih. Sedangkan amanat konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945 menyatakan tentang perlunya negara memberikan jaminan hak dasar bagi tiap warga negara.
"Jadi, menurut saya, hak-hak warga negara itu sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya karena profesi. Karena jabatan sebagai anggota TNI itu kan profesi. Kami sendiri di PKS tidak merasa khawatir soal kecurigaan adanya keberpihakan TNI jika diberikan hak pilih," kata anggota Komisi II DPR ini.
Dia mengaku heran terhadap sejumlah parpol yang khawatir terhadap pemberian hak pilih bagi TNI, padahal kalau dilihat dari hubungan historisnya justru PKS tidak diuntungkan, karena hampir semua parpol memiliki tokoh yang berasal dari petinggi TNI maupun Polri, yang tentunya memiliki hubungan historis, terutama Golkar, Hanura, Gerindra, termasuk Demokrat. (Rully/Joko S/Wahyudi/Ant/Pudyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar