Jakarta, NusaBali – Pro dan kontra terus mewarnai wacana masuknya TNI ke ranah politik praktis setelah usulan mengembalikan hak pilih TNI digulirkan oleh Presiden SBY. Diantara sejumlah partai politik, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) paling lantang menyuarakan dukungan. Pengamat pun menyebut, ada udang di balik batu dengan PKS ?
”Tentu ada maksud untuk ke arah 2014. PKS sepertinya sedang mencari simpati dan dukungan dari TNI,” ujar mantan Ketua Komisi I DPR RI Arief Mudatsir Mandan dalam dialog kenegaraan di gedung DPD MPR RI, Jakarta, Rabu (23/6) dilansir inilah.com.
Menurut Arief, setelah PKS, membuat kejutan dalam Munas beberapa waktu lalu dengan merangkul kader di luar muslim, arah politik PKS semakin tampak saat memberikan dukungan kepada TNI. Padahal dengan sikap tersebut akan semakin banyak pihak yang mempertanyakan konsistensi PKS.
”Kalau TNI itu kan terbiasa dengan melakukan perintah dari komandan, menggunakan demokrasi terpimpin, jadi kalau komandan bilang harus A ya mereka pilih A,” tuturnya.
Selain itu, Arief pun melihat PKS sedang mempersiapkan amunisi menjelang 2014. Mungkin, lanjutnya, cara memberikan dukungan terhadap wacana ini adalah poin yang sedang dilancarkan partai berazaskan islam itu. ”Pasti ada maksud dan tujuannya dong. Tak mungkin kalau tak ada,” tandasnya.
Sementara pengamat militer Kusnanto Anggoro menilai, jika hak pilih TNI/Polri dibuka, yang diuntungkan adalah partatai politik yang tengah berkuasa dan partai politik berbasis sekuler. Kusnanto menuturkan, dalam sejarahnya sejak orde baru, TNI/Polri selalu berorientasi ke penguasa.
”Penguasanya siapa saja, kalau dulu dengan Orba. Jadi tidak ke partai politik, tapi politik kekuasaan, yang dekat dengan kekuasaan. Dalam konteks itu yang kira-kira akan mendapatkan suara banyak dari TNI/Polri ya Partai Demokrat,” cetusnya.
Selain Partai Demokrat, Kusnanto memprediksikan Partai Golkar dan PDIP juga bakal menerima limpahan suara dari TNI/Polri. Partai Golkar yang berkuasa selama 32 tahun di era Orde Baru, dinilai Kusnanto, tercitrakan dengan masa lalu yang memiliki hubungan baik dengan tentara. ”Saya tidak membayangkan jika TNI/Polri yang aktif memilih PKS. Itu kecil kemungkinan terjadi,” pungkasnya.
Wakil Ketua MPR AM Fatwa mengimbau, anggota DPR untuk mempertimbangkan masak-masak usulan melibatkan kembali TNI dalam kegiatan politik praktis. Salah satu yang penting dipertimbangkan adalah masalah netralitas.
”Adanya gagasan untuk memberikan hak pilih TNI sebenarnya tidak salah, namun harus diperhitungkan dan dipertimbangkan secara masak kondisi dan dampak, serta persyaratannya,” ujar anggota DPD yang juga mantan dalam dialog kenegaraan di gedung DPD MPR RI, Jakarta, Rabu (23/6).
Fatwa mengatakan sebenarnya sejarah tentara di Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah berusaha ditarik ke ranah politik untuk digunakan sebagai alat politik. Hal ini, lanjutnya, mengakibatkan kerugian bangsa.
”Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain kondisi dalam TNI, apakah profesionalisme dan netralitas sudah mantap, kondisi kekuatan politik terutama partai pilitik apakah sudah memiliki percaya diri sehingga tidak berusaha menarik TNI,” tukasnya.
Fatwa pun menilai hal penting lainnya adalah memperhatikan apakah ’daerah’ sudah siap melakukan gagasan tersebut dengan tetap menjaga jati diri bangsa Indonesia.
”Diperlukan perubahan atau penyempurnaan berbagai Undang-undang yang harus lebih berisi persyaratan-persyaratan bagi TNI maupun Polri untuk mencegah efek yang tidak diinginkan, misalnya kriteria profesionalisme harus lebih terjabarkan,” tandasnya.
”Tentu ada maksud untuk ke arah 2014. PKS sepertinya sedang mencari simpati dan dukungan dari TNI,” ujar mantan Ketua Komisi I DPR RI Arief Mudatsir Mandan dalam dialog kenegaraan di gedung DPD MPR RI, Jakarta, Rabu (23/6) dilansir inilah.com.
Menurut Arief, setelah PKS, membuat kejutan dalam Munas beberapa waktu lalu dengan merangkul kader di luar muslim, arah politik PKS semakin tampak saat memberikan dukungan kepada TNI. Padahal dengan sikap tersebut akan semakin banyak pihak yang mempertanyakan konsistensi PKS.
”Kalau TNI itu kan terbiasa dengan melakukan perintah dari komandan, menggunakan demokrasi terpimpin, jadi kalau komandan bilang harus A ya mereka pilih A,” tuturnya.
Selain itu, Arief pun melihat PKS sedang mempersiapkan amunisi menjelang 2014. Mungkin, lanjutnya, cara memberikan dukungan terhadap wacana ini adalah poin yang sedang dilancarkan partai berazaskan islam itu. ”Pasti ada maksud dan tujuannya dong. Tak mungkin kalau tak ada,” tandasnya.
Sementara pengamat militer Kusnanto Anggoro menilai, jika hak pilih TNI/Polri dibuka, yang diuntungkan adalah partatai politik yang tengah berkuasa dan partai politik berbasis sekuler. Kusnanto menuturkan, dalam sejarahnya sejak orde baru, TNI/Polri selalu berorientasi ke penguasa.
”Penguasanya siapa saja, kalau dulu dengan Orba. Jadi tidak ke partai politik, tapi politik kekuasaan, yang dekat dengan kekuasaan. Dalam konteks itu yang kira-kira akan mendapatkan suara banyak dari TNI/Polri ya Partai Demokrat,” cetusnya.
Selain Partai Demokrat, Kusnanto memprediksikan Partai Golkar dan PDIP juga bakal menerima limpahan suara dari TNI/Polri. Partai Golkar yang berkuasa selama 32 tahun di era Orde Baru, dinilai Kusnanto, tercitrakan dengan masa lalu yang memiliki hubungan baik dengan tentara. ”Saya tidak membayangkan jika TNI/Polri yang aktif memilih PKS. Itu kecil kemungkinan terjadi,” pungkasnya.
Wakil Ketua MPR AM Fatwa mengimbau, anggota DPR untuk mempertimbangkan masak-masak usulan melibatkan kembali TNI dalam kegiatan politik praktis. Salah satu yang penting dipertimbangkan adalah masalah netralitas.
”Adanya gagasan untuk memberikan hak pilih TNI sebenarnya tidak salah, namun harus diperhitungkan dan dipertimbangkan secara masak kondisi dan dampak, serta persyaratannya,” ujar anggota DPD yang juga mantan dalam dialog kenegaraan di gedung DPD MPR RI, Jakarta, Rabu (23/6).
Fatwa mengatakan sebenarnya sejarah tentara di Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah berusaha ditarik ke ranah politik untuk digunakan sebagai alat politik. Hal ini, lanjutnya, mengakibatkan kerugian bangsa.
”Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain kondisi dalam TNI, apakah profesionalisme dan netralitas sudah mantap, kondisi kekuatan politik terutama partai pilitik apakah sudah memiliki percaya diri sehingga tidak berusaha menarik TNI,” tukasnya.
Fatwa pun menilai hal penting lainnya adalah memperhatikan apakah ’daerah’ sudah siap melakukan gagasan tersebut dengan tetap menjaga jati diri bangsa Indonesia.
”Diperlukan perubahan atau penyempurnaan berbagai Undang-undang yang harus lebih berisi persyaratan-persyaratan bagi TNI maupun Polri untuk mencegah efek yang tidak diinginkan, misalnya kriteria profesionalisme harus lebih terjabarkan,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar