Jumat, 25 Juni 2010 21:55 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Walau belum bisa disebut tersistematis, masuknya paham radikal dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) ke tubuh aparat kepolisian dan militer, belakangan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dinilai merupakan tamparan keras bagi institusi pertahanan dan keamanan di Tanah Air.
JAKARTA, KOMPAS.com – Walau belum bisa disebut tersistematis, masuknya paham radikal dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) ke tubuh aparat kepolisian dan militer, belakangan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dinilai merupakan tamparan keras bagi institusi pertahanan dan keamanan di Tanah Air.
Saya sih sebetulnya masih melihat beberapa kejadian macam tadi sebatas anomali.
Hal itu disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Andi Widjojanto, Jumat (25/6/2010), saat diubungi Kompas, menyusul tertembak matinya terduga teroris Yuli Karsono, pecatan anggota TNI AD yang bertugas di Pusat Pendidikan Perhubungan, Cimahi, Jawa Barat. Seperti diwartakan, Yuli, terakhir berpangkat Prajurit Kepala (Praka), dipecat dari ketentaraan karena terlibat Jemaah Islamiyah dan bahkan sempat dipenjara di tahanan militer selama dua tahun (2002-2004) setelah kasusnya diusut oleh Polisi Militer.
“Saya sih sebetulnya masih melihat beberapa kejadian macam tadi sebatas anomali. Belum sampai menjadi semacam pola besar, kelompok teroris memang secara ingin merekrut anggota polisi atau TNI. Namun tetap kejadian seperti Yuli menjadi tamparan keras bagi institusi TNI karena bagaimana bisa indoktrinasi mereka yang kuat bobol oleh paham-paham radikal,” ujar Andi. Padahal selain didoktrin kuat untuk tetap loyal pada Pancasila, Negara Kesatuan RI, dan Undang-undang Dasar 1945, prajurit TNI juga didoktrin untuk senantiasa patuh pada yang namanya Sumpah Prajurit TNI dan Sapta Marga. Selain itu dalam struktur TNI juga ada bagian khusus menangani pembinaan mental prajurit TNI.
Dalam catatan Kompas, keterlibatan oknum atau mantan aparat juga pernah terjadi sebelumnya ketika diketahui dua bintara polisi ditahan karena menjual sejumlah senjata disposal, salah satunya jenis AK-47, dan 8.000 butir peluru kepada anggota kelompok teroris Aceh. “Masalah ini bisa menjadi serius ketika kita melihatnya begini, bagaimana bisa seorang prajurit TNI yang ketika itu masih aktif, sama sekali tidak memiliki benteng mental ideologi untuk menangkal proses radikalisasi. Kejadian itu harus menjadi peringatan (warning) serius,” tambah Andi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar