Rabu, 28 April 2010 20:00 WIB
Penulis : Anindityo Wicaksono
Penulis : Anindityo Wicaksono
JAKARTA--MI: Menteri Kehutanan Zulkifili Hasan mengaku belum mengecek dan tidak tahu ada dua kompleks bangunan yang berstatus aset TNI-AD di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Menurut dia, pihaknya akan melakukan pembicaraan segera dengan pihak TNI-AD untuk mencari penyelesaian bersama. Sebab, bagaimanapun kompleks TNI di sana berstatus aset negara. Langkah penyelesaiannya tentu perlu meneliti sejarah kawasan, memang pembangunannya memiliki izin atau tidak.
"Tapi intinya jelas. Ga boleh ada bangunan apapun di dalam kawasan konservasi. Tapi untuk aset negara memang perlu pembahasan dengan pihak terkait," ujarnya usai menerima kunjungan Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di kantor Kementerian Kehutanan, Jakarta, Rabu (28/4).
Menurut dia, untuk menyelesaikan masalah pendudukan di kawasan-kawasan hutan konservasi, pihaknya selama ini sudah berkoordinasi dalam sebuah tim gabungan. Selain Kemenhut, tim itu terdiri atas kepolisian, kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tak hanya di TNGHS, semua langkah penegakan dilakukan dengan terus berkoordinasi bersama tim gabungan. KPK saja tiap hari rapat di sini," ujarnya.
Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Darori menambahkan, sampai kini memang belum ada pembahasan bersama TNI selaku pemilik aset di sana. Nantinya, pembahasan akan dilakukan setelah penertiban tahap pertama terhadap vila-vila ilegal atas nama pribadi rampung sepenuhnya.
Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan Ditjen PHKA menyatakan, berdirinya aset-aset TNI di sana memang sama menyalahi ketentuan seperti vila-vila ilegal atas nama pribadi di sana. Sesuai penelusuran dokumen, izin prinsip pinjam pakai yang diterbitkan melalui surat keputusan (SK) Menhut di 1994 memang menyebutkan berlaku untuk permohonan hak garap pertanian dan latihan menembak.
Namun, hak pengelolaan belum berlaku selama penyediaan lahan pengganti 1:1 usai dipenuhi maksimal dua tahun sejak SK diterbitkan. "Tapi karena (lahan pengganti) tak kunjung tersedia, ya hak itu gugur demi hukum," ujarnya.
Menurut dia, nantinya penyelesaian aset-aset TNI di sana tetap akan dilakukan. Hal itu akan berjalan sesuai rencana pemerintah saat ini untuk menyiapkan suatu pemetaan kawasan yang baru untuk membagi kawasan menjadi beberapa zonasi. "Kawasan itu nantinya hendak dipersiapkan menjadi kawasan wisata berkonsep ekologi (eco-tourism)," ujarnya. Sementara itu, menurut Darori, saat ini surat periksa dan pemanggilan terhadap 12 pemilik yang dijadikan target operasi untuk menjalani proses penyidikan sudah berada di aparat kejaksaan dan kepolisian yang tergabung ke dalam tim gabungan penyidik. Namun, dia masih enggan membeberkan nama ke-12 orang itu.
Saat ini, Mabes Polri pun sudah mulai melakukan pemanggilan para pemilik yang diduga menunjukkan penolakan dan membiayai aksi-aksi demostrasi penolakan. Sebab, meski kewenangan hak atas tanah berada di Kemenhut, kegiatan penindakan sesuai UU No 41/1999 tentang Kehutanan haruslah melewati kepolisian. Dari sini kejaksaan membimbing untuk menentukan tindak pidana apa yang digunakan.
"KPK pun dilibatkan untuk menyelidiki apakah ada indikasi korupsi jika aset kekayaan para pemilik di sana dilaporkan dalam laporan kekayaan atau tidak. Termasuk menelusuri indikasi penyalahgunaan wewenang jika sampai bisa terbit dokumen-dokumen yang dijadikan dasar keberatan para pemilik ini," ujarnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar