Sabtu, 25 September 2010 21:32 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kriminolog Adrianus Meliala menilai pernyataan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri tentang kemungkinan Kepolisian RI bekerja sama dengan TNI dalam penanganan aksi terorisme adalah sebatas sikap 'ramah tamah' semata.
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kriminolog Adrianus Meliala menilai pernyataan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri tentang kemungkinan Kepolisian RI bekerja sama dengan TNI dalam penanganan aksi terorisme adalah sebatas sikap 'ramah tamah' semata.
Sikap tersebut dilatarbelakangi banyaknya aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia sekitar lima tahun terakhir. Banyaknya kejadian teror memaksa Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri mengambil tindakan tegas menumpas gerombolan teroris.
"Ini lebih kepada sikap gentlement dari pihak Polri terkait banyaknya aksi teror beberapa tahun terakhir," kata Adrianus ketika dihubungi lewat sambungan telepon, Sabtu (25/9) malam. Adrianus mengatakan Densus 88 banyak dikritik masyarakat akibat tindakan tegas yang diambil saat menghadapi para pelaku terorisme. Tak jarang personel Densus 88 harus menembak mati para pelaku teror agar aksinya dapat dihentikan. "Supaya tidak dikritik lagi, akhirnya Polri mengajak serta TNI."
Kapolri kemarin mengatakan Markas Besar Kepolisian RI akan segera membentuk Satuan Tugas Striking Force untuk menajamkan aksi pemberantasan terorisme di Indonesia. Selama ini, Kepolisian melalui satuan Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror, merupakan ujung tombak pemberantasan terorisme.
Satgas Striking Force akan dibentuk di tingkat daerah, dengan tujuan memudahkan Polri melakukan tindakan represif untuk menegakkan hukum. Nantinya, Densus 88 Polri dapat bekerja sama dengan Denjaka, Den Bravo, dan Sat-81 Gultor.
Denjaka adalah Detasemen Jala Mangkara, Korps Pasukan Khusus Antiteror Marinir TNI Angkatan Laut. Sedangkan Den Bravo-90 adalah Pasukan Khas TNI Angkatan Udara Detasemen 90 Antiteror. Adapun Sat-81 Gultor adalah Komando Pasukan Khusus Satuan Penanggulan Teror TNI Angkatan Darat
.Adrianus menampik kemungkinan Densus 88 dinyatakan kewalahan menangani aksi terorisme di Indonesia, termasuk mengantisipasi indikasi perubahan pola serangan para teroris dari serangan bom menjadi serangan terbuka, seperti yang tampak pada beberapa aksi teror di Sumatera Utara beberapa waktu terakhir.
Rekam jejak Densus 88 dalam pemberantasan terorisme selama ini dinilai cukup bagus. Satuan khusus ini, kata Adrianus, dalam kurun waktu lima tahun terakhir mampu menangkap setidaknya 470 orang teroris. Sekitar 400 orang di antaranya telah menjalani pidana. "Densus juga telah menembak mati sekitar 20 orang teroris selama kurun waktu yang sama."
Pencapaian ini, lanjutnya, tentu dapat diterima oleh hukum. Masyarakat sudah sepakat bahwa penanganan terorisme harus melalui jalur hukum, sehingga yang paling tepat menanganinya adalah aparat kepolisian.
"Banyaknya pelaku teror yang diseret ke pengadilan membuktikan penanganan aksi terorisme secara hukum telah dijalankan oleh Polri," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar