Senin, 14 Juni 2010

Terinspirasi dari Sarapan Pagi

Sriwijaya Post - Minggu, 13 Juni 2010 12:23 WIB
KEINGINAN dan tekad menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan masuk ke Akabri, didasari kondisi ekonomi dan ketidakmampuan orangtua membayar uang kuliah. Orangtua hanyalah seorang pensiunan TNI AD berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu), tinggal di asrama dan hidup sangat sederhana. Eko Wahjono sadar betul, tak hanya dirinya yang butuh biaya, tetapi juga ketiga adiknya yang masih sekolah. Bahkan, untuk menggapai cita-citanya itu, mulai dari kelas 2 SMU, suami Dwi Ariyanti ini mempersiapkan diri dengan berolahraga dan puasa Senin-Kamis hingga salat tahajud setiap malam. Dari 6314 calon peserta, Eko berhasil di urutan kedua dari 100 calon taruna yang lulus. Kini, ia menjadi Komandan Pangkalan TNI AL (Danlanal) Palembang, berpangkat Letnan Kolonel Laut (P). Ia pun bercita-cita menjadikan Mako Lanal Palembang berprestasi dan solid. Berikut petikan wawancara wartawan Sripo, Muhammad Husin, Jumat (11/6) di ruang kerjanya.

Sripo : Sepertinya, Anda sangat mengidolakan kedua orangtua, khususnya sosok ibu. Sebenarnya, seperti apa yang menarik kedua orang tua ini? Eko : Sama seperti orangtua-orangtua lain, yang ingin memberikan sesuatu terbaik bagi anak-anaknya. Orangtua saya seperti itu juga. Ayah seorang tentara yang jujur dan hidup sederhana di asrama dengan pangkat terakhir pansiun Peltu saat saya kelas tiga SMA. Sedangkan ibu adalah ibu rumah tangga sangat patuh terhadap suami dan mengasuh keempat anak-anaknya. Kendati ayah seorang tentara, ia jarang bahkan tidak pernah marah dengan anak-anaknya. Kami semua dididik bagaimana menghormati orang tua, dan mereka ingin kami semua menjadi kebanggaannya. Ia tekan-kan pentingnya kejujuran dan nilai-nilai akhlaq. Sementara ibu sadar betul dengan kondisi bapak, makanya ia berjualan bumbu dapur dan telur ayam di kampung. Ada yang menarik dari keduanya, baik ibu maupun bapak, tidak pernah menukar beras yang diterima dari dinas seburuk apapun. Jadi perut kami terbiasa dengan nasi yang keras, ini perut komando (Eko sambil memegang perutnya dan tertawa...) Sejak kapan terpikir ingin menjadi tentara? Apa, orangtua yang mendorong? Sebenarnya, orangtua ingin saya jadi guru atau dosen karena bapak dahulu seorang guru, tapi di tengah jalan terhenti karena masuk militer. Saat kelas dua menjelang kelas tiga SMA, saya tanya ke bapak. Apakah bapak mampu membiayai kalau saya kuliah? Bapak menjawab, sanggup tapi berat karena begitu kelas tiga, bapak pensiun. Bahkan bapak sempat akan mengojek begitu pensiun untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah anak-anak. Saya sadar betul, bapak tidak sanggup. Tapi untuk menghibur anak-anaknya, ia bilang sanggup. Akhirnya, saya berpikir harus masuk Akabri, karena tanpa biaya dan pendidikannya tidak membayar. Jadi saya utarakan kepada Bapak dan ia mendukung. Satu hal yang saya terapkan ke anggota saat saat ini, Bapak setiap pagi selalu sarapan bareng kami pukul 06.30, maka pukul 06.00, kami anak-anaknya sudah berada di meja makan pukul 06.00. Saat sarapan itulah, bapak bangun komunikasi, ia tanya bagaimana dengan pelajaran di sekolah, ada kesulitan atau tidak, terus apa saran untuk Bapak dan lain-lain. Ini kelihatan sepela, tapi bagi saya, inilah tatanan komunikasi demokrasi yang diajarkan Bapak sehingga kami selalu terbuka mengemukakan pendapat dan memberikan nasehat kepada anak-anaknya. Di Forum Sarapan Pagi ini, saya utarakan niat saya ingin melamar ke Akabri.

Inspirasi sarapan pagi bareng ini saya terapkan terhadap anak buah saya, dan ini sangat baik man-faatnya. Kita bisa berkomunikasi dengaan anak buah, dan kalau ada persoalan dipecahkan bersama.

Kesiapan seperti apa yang menjadi bekal Anda untuk masuk Akabri, apa Bapak juga membantu? Saya mulai dewasa berpikir itu diawal kelas tiga SMA karena disadari kondisi ekonomi keluarga yang boleh dibilang pas-pasan. Setahun selum tes Akabri, saya rajin olargaha mulai dari push up, lari pagi dan olahraga lainnya. Saya juga aktif di berbagai organisasi kesiswaaan, seperti Pramuka dan pernah ikut di Jambore Nasional, pernah menjadi Ketua OSIS dan Ketua Karang Taruna di Kampung Tulung Agung, Jawa Timur. Saya pikir, bekal fisik semata tidak cukup, makanya saya juga minta bantuan Allah SWT dengan puasa Senin-Kamis dan Tahajud setiap malam. Doa saya hanya satu, Ya Allah tolong terima saya di Akabri untuk membantu orang tua dan saudara saya. Itu saja doa saya setiap malam, tidak ganti-ganti. Alhamdulillah, saya diterima dan lulus dengan urutan kedua dari 100 pelamar yang diterima. Waktu itu, pelamarnya 6314 orang. Padahal, di waktu bersamaan saya juga lulus di tes masuk perguruan tinggi di Universitas Brawijaya Malang, Universitas Air Langga di Fakultas Kimia, di IKIP Malang dan universitas di Solo. Saya mantapkan hati dan pilih ke Akabri karena tidak ada biaya selama pendidikan.

Bagaimana reaksi orangtua saat itu? Orangtua saya bangga dan bersyukur karena satu asrama itu, hanya saya yang diterima di Akabri. Satu hal lagi, yang bikin Bapak senang, dalam satu asrama hanya keluarga kami, dimana anaknya diterima sekolah negeri. Teman-teman di asrama lainnya, sekolah di luar negeri (swasta,Red). Saat saya hendak ke Surabaya untuk pergi pendidikan, ibu mmeberikan uang Rp 500 ribu, itu yang saya terharu sekali. (wawancara sempat terhenti sejenak...karena Eko Wahjono sempat beberapa menyeka air matanya yang terharu ketika membicarakan sosok sang ibu). Maaf, kalau saya ngomong soal ibu, saya tidak tahan. Karena seumur hidup asaya, baru uang sebesar itu yang diberikan ibu kepada saya. Saya sendiri tidak tahu dari mana uang itu, yang saya tahu ibu tidak punya uang. Sampai sekarang saya masih ingat betul.

Makanya, apa pun keadaan saya, termasuk nantinya menjadi Laksamana (KASAL,Red) atau jadi apa pun, saya akan tetap patuh dengan ibu. Termasuk kalau ibu nyuruh saya beli lombok (cabai,red) di Pasar. Bulan kemarin saat cuti dan saya pulang kampung, dan ibu minta belikan lombok di pasar, saya beli sendiri dengan naik sepeda. Saya tidak gensi, memang di Palembang saya Komandan, tetapi di rumah saya anak ibu, sama dengan saudara lainnya. Termasuk disuruh ngepel, saya patuhi. Itulah kebanggaan saya karena bisa membuat orang tua bahagia.
Bagaimana dengan ketiga saudara-saudara, apakah mereka semua saat ini juga bagian dari keluarga besar TNI? Saya sendiri di TNI, adik saya nomor dua saat Pegawai PT PLN (Persero), nomor dua seorang ibu rumah tangga, istri dari seorang perwira di TNI Angkatan Darat dan yang ketiga bungsu, kini menjadi pegawai di Departemen Perhubungan. Alhamdulillah, mereka jadi semua. Inilah, nilai pendidikan yang diajarkan orang tua tentang sebuah kejujuran dan ketaatan dalam beragama sehingga semua berkah. Disamping komunikasi yang dibangun orang di meja makan merupakan pelajaran yang sangat berharga dan mengilhami langka kami ke depan. Kami banyak belajar dari orang tua, yang menjadi panutan. Bapak sosok yang tegas tetapi tidak pemarah dan ibu sosok wanita yang lembut terhadap anak dan patuh kepada suami. Bagi kehidupan saya, tentu saya ingin istri seperti sosok ibu, dan Alhamdulillah dipertemukan Allah SWT. Istrinya, Dwi Ariyanti —Mantan Pramugari Garuda —ia dididik dari keluarga Pensiunan Marinir berpangkat Kolonel yang jujur dan sederhana.

Mungkin, ada yang ingin Anda perbuat untuk orang tua atau ada keinginan orang tua yang belum dilakukan anak-anaknya? Sepertinya, orangtua tidak keinginan macam-macam. Tapi kamilah yang punyai keinginan untuk berbuat sesuatu untuk orang tua. Alhamdulillah, tahun ini orang tua dan mertua, kita berangkatkan ke Tanah Suci bersama-sama. Itulah bentuk kebahagiaan kami. *** Falsafah Lima Jari

APA yang diajarkan orangtua dalam membangun komunikasi dan kebersamaan di meja makan, sepertinya diaplikasikan Letkol Laut (P) Eko Wahjono kepada staf perwiranya di jajaran Pangkalan TNI AL (Lanal) Palembang. Jika saat Eko kecil makan bersama dimulai pagi hari bersama orangtuanya, kini Eko Wahjono menerapkan makan bersama jam siang (pukul 13.00). Disinilah, Eko membangun komunikasi yang demokratis terhadap bawahannya. Ia tidak bisa langsung menanyakan kondisi Keamanan Laut/sungai, warga pesisir pantai dan lingkungan operasional serta internal Lanal sendiri, termasuk kendala yang dihadapi.

Di Forum ini juga, ia tidak segan-segan meminta masukan dan kritik dari bawahannya. Lantas bagaimana lauk-pauk yang dihidangkan, ternyata cukup sederhana. Dan menu yang disajikan masakan rumahan, seperti tempe sambal, sayur santan kacang panjang, telur rebus, kerupuk dan ikan.

Kebetulan, saat Sripo hendak mewawancarai Danlanal satu ini, ia pun langsung mengajak makan bareng. Eko Wahjono yang memimpin doa dengan memberikan isyarat bunyi bel. “Makan bersama seperti ini enak, dan bersamaan,” kata Eko.

“Usai makan, kita diskusi dengan perwira tentang apa saja. Saya tanya ke mereka, ada kendala tidak di lapangan,” katanya.

Eko Wahjono sangat senang staf yang mau mengkritik dirinya dan memberikan masukan. “Saya suka dengan staf dan pegawai yang memberikan masukan. Misalnya, izin komandan, kalau kebijakan ini dilakukan dampaknya tidak baik. Dari pada ada staf hanya bisa Yes Men, beras komandan. Eh, ternyata tidak beras,” katanya.

Sebagai Delegasi dari Armada Barat, tentu Eko Wahjono ingin Lanal Palembang berprestasi dan solid. Untuk itulah, banyak harus ia benahi terutama penampilan fisik Maskas Komando, Keamanan Laut, Pembinan masyarakat pesisir dan berpartisipasi dalam pembangunan di daerah.

Selain memberikan arahan, Eko Wahjono kerap kali mengajarkan filsafat lima jari dan berusaha. Jari jempol menunjukan kehidupan pribadi dan keluarga sehingga kalau ada rejeki, maka diutamakan keluarga, jari telunjuk adalah Orang tua yang harus diperhatikan, Jari tengah (itu pimpinan/Kodam/Armada Barat/Lantamal Jakarta), jari manis adalah staf/pasukan/karyawan harus diperhatikan, sedangkan jari kelingking adalah simbol dari kaum dhuafa/fakir-miskin/yatim-piatu). “Kelimanya harus diperhatikan agar hidup ini berkah,” katanya. (sin) Biodata: Nama : Letkol Laut (P) Eko Wahjono Lahir : Tulung Agung, Jatim 5 Juni 1970 Isri : Dwi Ariyanti Hobi : Olahraga Karir : 1. Kadep Nop KRI SRP-859 (1994) 2. Kadiv Kom KRI OWA-354 (1995) 3. Kadep Ops KRI STS-376 (1996) 4. Pasops Lanal Batam (2000) 5. Komandan KRI-SKD 863 (2001) 6. Pasops Satroltas Lantamal VIII (2002) 7. Pabanda Matrat Sopsal Mabesal (2004) 8. Komandan KRI TKG 531 (2005) 9. Pasops Kolat Armabar (2006) 10. dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog