Kamis, 08 April 2010

Tak Ada Operasi Intelijen di Aceh

7 April 2010, 11:40
BANDA ACEH - Pangdam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI Hambali Hanafiah menegaskan, hingga kini tak ada operasi intelijen maupun teritorial di Aceh, yang ada hanyalah kegiatan intelijen dan pembinaan teriorial atau wilayah. “Kalau operasi punya tujuan dan target khusus dengan biaya yang besar, sedangkan kegiatan merupakan pelaksanaan tugas rutin satuan-satuan TNI yang ada di Aceh,” kata Pangdam IM mengklarifikasi isu adanya operasi intelijen dan teritorial di Aceh pada Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah (Rakorpimda) di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Selasa (6/4).
Penegasan tidak adanya operasi intelijen dan teritorial di Aceh disampaikan Pangdam IM ketika menjawab berbagai pertanyaan peserta Rakorpimda seusai pemaparan tentang pemantapan stabilitas keamanan di Aceh. Pangdam mengatakan, info itu penting disampaikan dan sekaligus sebagai klarifikasi kepada Gubernur, bupati/walikota, Polres, kejaksaan, pengadilan, DPRA, DPRK, serta SKPA untuk diketahui dan disampaikan kepada masyarakat.

Menurut Pangdam IM, ancaman bidang pertahanan dan keamanan yang paling mungkin terjadi di Aceh saat ini adalah gangguan keamanan bersenjata seperti perampokan, pencurian, dan penculikan. Sedangkan mengenai aksi teroris, aparat keamanan terutama kepolisian berhasil melumpuhkan dengan melakukan pengejaran ke lokasi pelatihan serta melaksanakan sweeping terpadu, telah berhasil memotong jalur komunikasi jaringan teroris Aceh.
“Atas keberhasilan itu, kegiatan antarpemangku kepentingan perlu ditingkatkan lagi,” kata Mayjen Hambali. Pangdam mengingatkan perlunya mewaspadai ancaman gangguan mutidimensial yang meliputi bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan yang sebagian besar faktor penyebabnya karena pengaruh globalisasi yang sulit dibendung dan sangat mungkin melemahkan simpul-simpul persatuan dan kesatuan bangsa.Pada bidang idiologi, biasanya tumbuh fanatisme idiologi selain Pancasila. Seperti kelompok Islam fundamentalis yang mengusung isu negara Islam Indonesia dan kelompok yang menolak kesepakatan damai RI-GAM.
Bidang politik, ancaman gangguan menggunakan kekuatan berupa mobilisasi massa untuk menuntut kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah seperti pembagian dana reintegrasi yang tidak merata. Bidang ekonomi, ancaman gangguannya mungkin timbul dari terjadinya pengangguran yang tinggi akibat meningkatnya jumlah tenaga tidak produktif. Kalau bidang sosial budaya, menurut Hambali Hanafiah, biasanya ancaman ganguan keamanan itu muncul dari isu kemiskinan, keterbelakangan, penyimpangan penggunaan dana pembangunan/korupsi, ketidakadilan pembangunan yang berakibat munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan berdampak pada terganggunya stabilitas keamanan.

Selain itu, lanjut Pangdam IM, penetrasi nilai-nilai budaya asing yang sulit dibendung akan mempengaruhi tata nilai dan kearifan lokal sampai pada tingkat desa. Peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang di kalangan generasi muda menjadi salah satu penyebab lemahnya masyarakat Aceh. Kondisi ini diperparah dengan masih banyaknya ditemukan ladang ganja di Aceh.

Bantuan instansi vertikal
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri, Dr Sodjuangan Situmorang MSi menyampaikan Sosialisasi PP Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas, Wewenang, dan Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Seusai Dirjen Otda menyampaikan materinya, Pangdam IM mengajukan pertanyaan tentang bantuan keuangan pemeritah daerah untuk instansi vertikal, seperti biaya pengamanan kedatangan Presiden dan kepala negara asing ke daerah. Menurut Pangdam, dana untuk itu tidak disediakan oleh pusat untuk TNI. Karena Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, maka yang harus menanggung biaya pengerahan personel untuk pengamanan kunjungan kepala negara dan kepala pemerintahan asing ke daerah adalah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Terhadap pertanyaan itu, Dirjen Otda membenarkan dalam aturan Mendagri sebelumnya dilarang dana APBD dialokasikan untuk kegiatan instansi vertikal. Tapi yang terkait dengan dana pengamanan kepala negara dan tamu asing serta anggota muspida provinsi dan kabupaten/kota, harus diatur kembali oleh Mendagri supaya gubernur dan para bupati tidak terjebak dalam masalah hukum di kemudian hari. Dirjen Otda menegaskan, mengenai bantuan dana APBD untuk instansi vertikal, untuk sementara ini belum dibolehkan. Namun, katanya, masukan para bupati/walikota maupun pihak TNI akan dijadikan bahan untuk penyusunan aturan yang baru agar tidak terjebak dalam masalah hukum. Rakorpimda Aceh dibuka Gubernur Irwandi Yusuf. Peserta yang hadir, selain anggota muspida provinsi, juga para bupati/walikota dan anggota muspida kabupaten/kota.

Selain mendengarkan sambutan gubernur, sosialisasi PP 19/2010, dan paparan Pangdam IM, peserta Rakorpimda juga mendengarkan materi tentang kamtibmas yang disampaikan Kapolda Aceh diwakili Wakapolda Kombes Pol Surya Darma. Sedangkan pihak Kejaksaan Tinggi Aceh menyampaikan materi tentang penegakan hukum. Dalam sesi tanya jawab, para bupati, terutama bupati daerah pemekaran yang baru seperti Pidie Jaya, Subulussalam, dan Aceh Tamiang bermohon kepada Pangdam IM untuk membangun gedung Makodim dan Makoramil di wilayah mereka. Sedangkan mengenai tanah untuk Makodim dan Makoramil sudah disediakan oleh pemkab masing-masing. Terhadap permohonan itu, Pangdam menyatakan akan ditindaklanjuti tetapi tidak bisa dilakukan dengan segera karena terkait dengan kebutuhan dana. Menurutnya, anggaran yang tersedia untuk Kodam IM sangat terbatas. “Kalau pemkab mau membantu bangunan fisiknya, jika sudah siap maka kita segera mengisi personelnya,” demikian Pangdam IM.(her)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog