Senin, 29 Maret 2010 22:53 WIB
Penulis : Dinny Mutiah
JAKARTA--MI: Militer dan polisi mustahil bergabung untuk menangani operasi antiteror secara bersamaan. Pasalnya, operasi terorisme di Indonesia dilakukan bersifat sel dan bisa terjadi bersamaan di beberapa tempat di Indonesia.
Penulis : Dinny Mutiah
JAKARTA--MI: Militer dan polisi mustahil bergabung untuk menangani operasi antiteror secara bersamaan. Pasalnya, operasi terorisme di Indonesia dilakukan bersifat sel dan bisa terjadi bersamaan di beberapa tempat di Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Dosen FISIP UI Andi Widjajanto dalam diskusi bertajuk Kerjasama Polisi dan Militer dalam Operasi Antiterorisme di Jakarta, Senin (29/3). "Saya pernah bertanya apakah bisa terjadi kerjasama operasi antara militer dan polisi? Mereka menyatakan pada saya agar jangan naif," kata Andi.
Ia beralasan bahwa paradigma antara polisi dan militer sekaligus kapasitas kedua institusi yang berbeda. Dalam perspektif militer, terorisme merupakan ancaman yang harus dihabisi tanpa melihat akar permasalahan. Sebaliknya, perspektif polisi sebagai penegak hukum akan melihat bahwa terorisme merupakan tindakan melawan hukum yang harus ditelisik jejaknya serta dilucuti kemampuannya. Pemerintah bisa menggunakan kedua kapasitas ini untuk menangani hal yang berbeda, tidak bisa digabungkan dalam satu operasi. "Jadi, pemerintah itu memecah kekuatan jika situasinya semakin memburuk. Misalnya, polisi menangani dua hal di sini, gultor (penanggulangan teror) menangani 3 kelompok di sana. Tidak bisa digabungkan dalam satu operasi," jelasnya.
Pengamat militer UI Edy Prasetyono mengungkapkan bahwa untuk mendukung operasi kedua institusi diperlukan aturan baku perbantuan. Kedua institusi selama ini hanya mengandalkan hasil praktek lapangan yang tidak mengontrol peminjaman sumber daya antar institusi.
Padahal, aset yang dipinjamkan bisa saja sensitif sehingga perlu pihak yang bisa bertanggung jawab atas itu. "Regulasi bisa hanya di tingkat kepmen, tak perlu sampai UU. Yang sekarang berjalan diantara kedua institusi adalah karena ada praktek, tapi tidak ada sistem yang mapan. Bahayanya kalau tidak ada itu, kalau ada material sensitif siapa yang mau bertanggungjawab," ujarnya. Mantan menhan Juwono Sudarsono memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, semakin sedikit perundang-undangan, semakin baik. Apalagi, ada kesepakatan antara TNI-Polri terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme di tingkat lapangan.
"Yang penting kemampuan efektifnya. Kalau di lapangan kan sudah ada kesepakatan. Terlalu banyak UU yang terjadi malah hukum rimba karena ada yang harus disinergikan satu sama lain. Sementara itu di lapangan, mereka tidak begitu peduli tentang payung hukum," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar