Malang, Jawa Post – Persenjataan enam pesawat Sukhoi milik TNI selama ini ternyata tidak dipasok dari Rusia, produsen jet tempur tersebut. Tapi, pesawat itu memanfaatkan bom buatan sebuah industri berskala kecil di Kota Malang. Orang dibalik industri bom itu adalah Ricky Hsndrik Egam. Siapa dia ?
Dua bengkel tehnik di Jalan Muharto, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, tersebut menjadi tempat produksi bom latih P-100. Itu termasuk jenis dropped bomb atau bom yang dijatuhkan dari pesawat.
Dua bengkel tersebut disewa Ricky Hendrik Egam dari seorang pengusaha lokal sejak 2007. Dulu, bengkel itu digunakan membuat knalpot motor, reparasi mesin industri, serta pembuatan suku cadang bus.
Sebelum dijadikan lokasi produksi bom, warga mengenalnya sebagai bengkel berbendera Raja Knalpot. Kini, warga nyaris tidak tahu bahwa bengkel tersebut membuat persenjataan peawat tempur Sukhoi.
Sebuah bengkel seluas sekitar separo lapangan bola digunakan Ricky sebagai lokasi assembling dan finishing pembuatan bom. Berbagai peralatan tehnik terlihat disana. Misalnya, beberapa jenis mesin bubut, mesin bor, peralatan las, hingga alat pengecatan dan balancing (keseimbangan). Di bengkel itu juga ada kantor serta tempat penyimpanan casing (selongsong) bom yang sudah jadi.
Satu bengkel lainnya, yang terletak di seberang bengkel tersebut, dijadikan lokasi pengecoran badan bom. Di bengkel yang berukuran lebih kecil itu, Ricky membuat selongsong bom dari besi nodular.
Dia juga membuat fin (penyeimbang atau ekor) dari besi ST-37, suslug (cantelan) dari besi baja VCN 45, tabung isian, nose (bagian depan bom), dan pelontar.
Minggu (28/3) 14 staf khusus presiden datang berkunjung ke sana. Mereka melihat pembuatan bom yang bisa dipasangkan di jet tempur sukhoi 27/30 dan pesawat standra NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) seperti F-5 tersebut. Mereka tertarik pada industri kecil yang bisa menopang kebutuhan alutsista (alat utama sistem persenjataan) dalam negeri itu.
”Terus terang, saya baru tahu kali ini. Pemerintah mestinya memberi perhatian, sehingga nanti bisa dikembangkan untuk industri pertahanan, ujar Purwatmojo, ketua rombongan staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana.
Ada dua jenis bom yang dipabrikasi di bengkel sederhana tersebut. Yakni, bom latih P-100 milimeter (1.1 meter); berat 100-125 kilogram; dan diameter 273 milimeter, panjang ekor (fin) sekitar 550 milimeter.
Bom warna biru hanya bisa mengeluarkan asap ketika dijatuhkan dan hidungnya menyentuh tanah. Asap tersebut berasal dari gas TiCl2 (titanium dichlorida) yang dimasukan dalam tabung di badan bom. Gas didalamnya keluar karena tabung pecah saat membentur tanah.
Bom latih 100 kilogram itu digunakan sejak 2007 oleh pesawat tempur sukhoi SU 27/30 di skuadron 11 Makasar. Bom latih yang diproduksi CV Sari Bahari, perusahaan yang didirikan Ricky, tersebut merupakan hasil pengembangan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AU. Sudah ratusan bom latih yang diluncurkan pesawat sukhoi milik TNI. Bom berwarna hijau militer bisa meledak karena diisi bahan peledak. Pengisian bahan peledak dilakukan di dusn BUMNIS (badan usaha milik negara industri strategis). Yakni di PT Pindad untuk jenis bahan peledak militer dan PT Dahana, Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk jenis bahan peledak komersial.
”Kalau sudah diisi bahan peledak, bom langsung diangkut TNI AU sebagai pengguna bom buatan kami. Kami tidak memiliki izin untuk menyimpan bahan peledak, tutur Ricky.
Untuk bom P-100 L yang bisa meledak, dia telah melakukan uji coba statis dan dinamis pada 29 Desember 2009. Uji coba berlokasi di AWR (air weapon range) Pandanwangi, Lumajang. Bom dipasang di pesawat sukhoi dan dijatuhakn di ketinggian 4.500 feet (sekitar 1.371 meter).
Hasil Dislitbang TNI AU menilai trajectory (lintasan bom) P-100 L itu layak digunakan seperti hanya P-100 versi latih yang telah mendapatkan sertifikat kelaikan. ”Selesai uji coba tersebut, kami membuat perintah untuk membuat 24 buah P-100 L yang akan digunakan dalam fire power demo bulan depan di hadapan Presiden SBY,”ungkap Ricky.
Atas kepiawaiannya dalam pembuatan bom, Ricky pernah diundang dua kali oleh Tentara Udara Diraja Mlaysia (TUDM). Bahkan, Malaysia memesan 1.000 unit P-100 L dan P-100. Bom tersebut akan digunakan untuk latihan pengeboman 18 unit pesawat sukhoi milik Malaysia.
Selama ini, sukhoi milik negeri jajaran itu menggunakan dropped bomb jenis )PAB-50 buatan Rusia saat latihan. Tapi bom tersebut tidak punya jenis latih. Semua bisa meledak Malaysia, tampaknya berhitung sioal mahalnya biaya latihan bila terus menerus menggunakan OFAB-100-120. Kalau dibanding biaya membeli bom latih ini harganya satu banding lima, beber putra purnawirawan TNI Al tetrsebut.
Profesi perancang sekaligus pembuat bom dilakoni Ricky penuh liku. Banyak dinamika yang mewarnai perjalanan pria kelahiran Surabaya 50 tahun lalu terserbut.
Itu bermula saat Ricky lulus kuliah dari fakultas pertanian Universitas Brawijaya Malang 1985.
Saat itu, Ricky muda tak kunjung mendapat pekerjaan. Dia pun memutuskan berwira usaha dan mendirikan CV Sari Bahari yang bergerak dalam bidang perdagangan umum. Pada 1987, oleh salah satu seorang kenalannya, dia diajak mendaftar menjadi rekanan PT Pindad di Turen Malang.
Awalnya Ricky tidak memasok barang yang terkait dengan peluru, persenjataan, atau peralatan tehnik. Dia justru menyuplai barang-barang kebutuhan runmah tangga seperti kain pel, sapu, serta kayu untuk palet (alas barang).
Aktivitas seperti itu dilakoni selama lebih dari lima tahun. Memasok barang-barang itu juga melalui tender, mas. Kadang dapat, kadang tidak, ucap penggemar film kartun tom & jerry tersebut.
Selama menjadi rekanan pindad itu, dia biasa berhubungan dengan tenaga ahli dari perusahaan luar negeri yang membantu di BUMN tersebut. Para konsultan asing itu juga memasok spare part mesin-mesin milik pindad. Sebagian besar mesin pindad memang harus diimpor.
Ricky pun bisa berbincang banyak dengan mereka karena dia andal berbahasa asing (inggris). Dari perbincangan itulah dia mulai tahu banyak tentag seluk beluk senjata, peluru, serta peralatan militer. Berbekal banyak kenalan dan pengetahuan otodidak tersebut, Ricky lantas mencoba menjadi importer pindad.
Awalnya, dia menjadi importer khusus barang-barang tehnik yang berhubungan dengan mesin persenjataan. Setiap sat saya disana (pindad) dan kenalannya orang-orang militer. Mindset saya akhirnya juga tidak jauh dari senjata, tutur bapak tiga anak tersebut.
Usaha impornya makin berkembang. Dalam perjalanan, bukan hanya pindad yang menjadi klin. Dia juga menjadi rekanan beberapa perusahaan yang masuk kategori BUMNIS. Barang-barang yang diimpor itu tak hanya berhubungan dengan persenjataan.
Ada pula kunci mesin, lat cukur, mesin bubut, serta mesin lain. Kenalan Ricky juga bertambah bahkan dia akhirnya menjadi sub distributor pengusaha distribusi alat tehnik milik salah seorang keluarga mantan presiden BJ. Habibie.
Dari aktivitas itulah penghobi segala jenis olah raga tersebut berkesempatan pergi ke Jerman. Saat itulah Ricky menyadari bahwa persenjataan di dalam negeri harus mulai diproduksi. Ebab, semua potensi bahan dan kemampuan ada.
Persenjataan tidak harus selalu diimpor. Dia pun sempat mengikuti kursus persenjataan . Saat itu, saya berpikir masok ngene ae ngga iso nggawe (hanya begini kok tida bisa membuat0, tegasnya.
Sepulang dari Jerman, Ricky mulai berpikir memproduksi alutsista bagi TNI pada 2005 dia bekerja sama dengan dislitbang TNI Au.
Proyek pertmanya adalah meneliti dan membuat kepala roket kaliber 2.75 inci warhead practice kal 2.75 inchi PSB Smokey). Sebagian bahannya masih impor. Setelah melalui beberapa penelitian, kepala roket latih itu pun sukses dibuat dan layak pakai.
Pada 2007, masih bersama dislitbang TNI AU dia membuat bom latih untuk jet tempur sukhoi 27/30. Bnetuk jadinya dinamai P-100. Artinya pengebom dengan berat 100 kilogram.
Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya sukses. Produksi P-100 saat ini digunakan para penerbang enam peswat tempur sukhoi milik TNI. Sebagai informasi, sejak dibeli TNI AU pada 2003, enam sukhoi itu tidak pernah dipersenjatai karena keterbatasan anggaran pertahanan. P-100 ini kan awal. Kalau tiongkok bisa, mengapa kita tidak bisa, ujarrnya.
Dalam waktu dekat, generasi P-100 dikembangkan. Dia punya konsep untuk membuat dropped bomb yang pintar. Yang dimaksud adalah sebuah bom P-100 (L) yang bisa menemukan sasaran sendiri. Konsekuensinya, saat penembakan, ketinggian pesawat harus berada dia tas 9.000 feet (2.743 meter).
Bahan dasar smart bomb itu sama dengan P-100 (L). Besi nodular yang diolah sendiri dari bijih besi dan baja VCN bisa dibeli dari industri baja dalam negeri. Alat GPS (glbal Positioning system) pun mudah didapat.
Dropped bomb masih punya keunggulan dibanding misil (peluru kendali). Yakni tidak ada panas yang bisa dideteksi radar. Kalau dropped bomb-nya pintar, untuk mengebom ke sasaran, pesawat tak masuk ke daerah lawan. Tahu-tahunya bomnya datang ke sasaran, kata penggiat komunitas anak kolong tersebut.
Selain menyiapkan smart bomb, penggemar otomotis itu sudah membuat roket kaliber 2.75 inci yang dinamai folding fin rocket cal 2.75 inch. Bahan-bahan roket juga terdapat di dalam negeri. Tabung roket dibuat dari campuran beberapa jebis besi. Termasuk fin (ekor atau penyeimbang) bisa dirancang di dalam negeri. Roket tersebut telah diuji coba ground to ground (darat ke darat) dengan daya jelajah 8 kilometer.
Ricky menyatakan, roket tersebut juga cocok untuk sistem persenjataan air to air (udara ke udara) atau air to ground (udara ke darat).
Roket ini buatan sendiri. Tapi untuk bahan pendorongnya, kami minta lapan (lembaga penerbangan dan antariksa nasional) yang mengisi, ucap pria berdarah Menado tersebut.
Selain itu, Ricky mengembangkan usaha membuat mounting stand gun cal 5.56-12.7 milimeter. Alat tersebut digunakan menyetel akurasi senapan milik TNI.Selama ini, untuk menyetel senapan saja, TNI harus menggunakan alat yang diimpor dari luar negeri. Jadi mengapa harus impor, tegasnya.
Ricky menyatakan sangat termotivasi untuk memproduksi persenjataan bagi TNI. Alasannya, produksi persenjataan yang dilakukan 99 persen di dalam negeri sangat menguntungkan dari sisi pertahanan negara. Sebagai anak mantan tentara, tahu bahwa kekuatan pertahanan bisa diketahui dengan mudah jika sebuah negara mengimpor senjata.
Sebaliknya, kalau industri di dalam negeri bisa memproduksi sendiri, negara lain tidak akan mengetahui kapasitas produksinya. Lebih dari itu, dengan menggandeng industri kecil pembuatan senjata lebih efisien dan bisa menyerap tenaga kerja dalam negeri.
Tentu lebih murah karena seluruh bahan dari dalam negeri. Besi bisa dibeli dari pabrik, mesiu dari Dahana atau Pindad. Tinggal pemantik bom (fuse) saja yang diimpor, kata penggemar buku fiksi ilmiah itu.
Dua bengkel tehnik di Jalan Muharto, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, tersebut menjadi tempat produksi bom latih P-100. Itu termasuk jenis dropped bomb atau bom yang dijatuhkan dari pesawat.
Dua bengkel tersebut disewa Ricky Hendrik Egam dari seorang pengusaha lokal sejak 2007. Dulu, bengkel itu digunakan membuat knalpot motor, reparasi mesin industri, serta pembuatan suku cadang bus.
Sebelum dijadikan lokasi produksi bom, warga mengenalnya sebagai bengkel berbendera Raja Knalpot. Kini, warga nyaris tidak tahu bahwa bengkel tersebut membuat persenjataan peawat tempur Sukhoi.
Sebuah bengkel seluas sekitar separo lapangan bola digunakan Ricky sebagai lokasi assembling dan finishing pembuatan bom. Berbagai peralatan tehnik terlihat disana. Misalnya, beberapa jenis mesin bubut, mesin bor, peralatan las, hingga alat pengecatan dan balancing (keseimbangan). Di bengkel itu juga ada kantor serta tempat penyimpanan casing (selongsong) bom yang sudah jadi.
Satu bengkel lainnya, yang terletak di seberang bengkel tersebut, dijadikan lokasi pengecoran badan bom. Di bengkel yang berukuran lebih kecil itu, Ricky membuat selongsong bom dari besi nodular.
Dia juga membuat fin (penyeimbang atau ekor) dari besi ST-37, suslug (cantelan) dari besi baja VCN 45, tabung isian, nose (bagian depan bom), dan pelontar.
Minggu (28/3) 14 staf khusus presiden datang berkunjung ke sana. Mereka melihat pembuatan bom yang bisa dipasangkan di jet tempur sukhoi 27/30 dan pesawat standra NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) seperti F-5 tersebut. Mereka tertarik pada industri kecil yang bisa menopang kebutuhan alutsista (alat utama sistem persenjataan) dalam negeri itu.
”Terus terang, saya baru tahu kali ini. Pemerintah mestinya memberi perhatian, sehingga nanti bisa dikembangkan untuk industri pertahanan, ujar Purwatmojo, ketua rombongan staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana.
Ada dua jenis bom yang dipabrikasi di bengkel sederhana tersebut. Yakni, bom latih P-100 milimeter (1.1 meter); berat 100-125 kilogram; dan diameter 273 milimeter, panjang ekor (fin) sekitar 550 milimeter.
Bom warna biru hanya bisa mengeluarkan asap ketika dijatuhkan dan hidungnya menyentuh tanah. Asap tersebut berasal dari gas TiCl2 (titanium dichlorida) yang dimasukan dalam tabung di badan bom. Gas didalamnya keluar karena tabung pecah saat membentur tanah.
Bom latih 100 kilogram itu digunakan sejak 2007 oleh pesawat tempur sukhoi SU 27/30 di skuadron 11 Makasar. Bom latih yang diproduksi CV Sari Bahari, perusahaan yang didirikan Ricky, tersebut merupakan hasil pengembangan Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI AU. Sudah ratusan bom latih yang diluncurkan pesawat sukhoi milik TNI. Bom berwarna hijau militer bisa meledak karena diisi bahan peledak. Pengisian bahan peledak dilakukan di dusn BUMNIS (badan usaha milik negara industri strategis). Yakni di PT Pindad untuk jenis bahan peledak militer dan PT Dahana, Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk jenis bahan peledak komersial.
”Kalau sudah diisi bahan peledak, bom langsung diangkut TNI AU sebagai pengguna bom buatan kami. Kami tidak memiliki izin untuk menyimpan bahan peledak, tutur Ricky.
Untuk bom P-100 L yang bisa meledak, dia telah melakukan uji coba statis dan dinamis pada 29 Desember 2009. Uji coba berlokasi di AWR (air weapon range) Pandanwangi, Lumajang. Bom dipasang di pesawat sukhoi dan dijatuhakn di ketinggian 4.500 feet (sekitar 1.371 meter).
Hasil Dislitbang TNI AU menilai trajectory (lintasan bom) P-100 L itu layak digunakan seperti hanya P-100 versi latih yang telah mendapatkan sertifikat kelaikan. ”Selesai uji coba tersebut, kami membuat perintah untuk membuat 24 buah P-100 L yang akan digunakan dalam fire power demo bulan depan di hadapan Presiden SBY,”ungkap Ricky.
Atas kepiawaiannya dalam pembuatan bom, Ricky pernah diundang dua kali oleh Tentara Udara Diraja Mlaysia (TUDM). Bahkan, Malaysia memesan 1.000 unit P-100 L dan P-100. Bom tersebut akan digunakan untuk latihan pengeboman 18 unit pesawat sukhoi milik Malaysia.
Selama ini, sukhoi milik negeri jajaran itu menggunakan dropped bomb jenis )PAB-50 buatan Rusia saat latihan. Tapi bom tersebut tidak punya jenis latih. Semua bisa meledak Malaysia, tampaknya berhitung sioal mahalnya biaya latihan bila terus menerus menggunakan OFAB-100-120. Kalau dibanding biaya membeli bom latih ini harganya satu banding lima, beber putra purnawirawan TNI Al tetrsebut.
Profesi perancang sekaligus pembuat bom dilakoni Ricky penuh liku. Banyak dinamika yang mewarnai perjalanan pria kelahiran Surabaya 50 tahun lalu terserbut.
Itu bermula saat Ricky lulus kuliah dari fakultas pertanian Universitas Brawijaya Malang 1985.
Saat itu, Ricky muda tak kunjung mendapat pekerjaan. Dia pun memutuskan berwira usaha dan mendirikan CV Sari Bahari yang bergerak dalam bidang perdagangan umum. Pada 1987, oleh salah satu seorang kenalannya, dia diajak mendaftar menjadi rekanan PT Pindad di Turen Malang.
Awalnya Ricky tidak memasok barang yang terkait dengan peluru, persenjataan, atau peralatan tehnik. Dia justru menyuplai barang-barang kebutuhan runmah tangga seperti kain pel, sapu, serta kayu untuk palet (alas barang).
Aktivitas seperti itu dilakoni selama lebih dari lima tahun. Memasok barang-barang itu juga melalui tender, mas. Kadang dapat, kadang tidak, ucap penggemar film kartun tom & jerry tersebut.
Selama menjadi rekanan pindad itu, dia biasa berhubungan dengan tenaga ahli dari perusahaan luar negeri yang membantu di BUMN tersebut. Para konsultan asing itu juga memasok spare part mesin-mesin milik pindad. Sebagian besar mesin pindad memang harus diimpor.
Ricky pun bisa berbincang banyak dengan mereka karena dia andal berbahasa asing (inggris). Dari perbincangan itulah dia mulai tahu banyak tentag seluk beluk senjata, peluru, serta peralatan militer. Berbekal banyak kenalan dan pengetahuan otodidak tersebut, Ricky lantas mencoba menjadi importer pindad.
Awalnya, dia menjadi importer khusus barang-barang tehnik yang berhubungan dengan mesin persenjataan. Setiap sat saya disana (pindad) dan kenalannya orang-orang militer. Mindset saya akhirnya juga tidak jauh dari senjata, tutur bapak tiga anak tersebut.
Usaha impornya makin berkembang. Dalam perjalanan, bukan hanya pindad yang menjadi klin. Dia juga menjadi rekanan beberapa perusahaan yang masuk kategori BUMNIS. Barang-barang yang diimpor itu tak hanya berhubungan dengan persenjataan.
Ada pula kunci mesin, lat cukur, mesin bubut, serta mesin lain. Kenalan Ricky juga bertambah bahkan dia akhirnya menjadi sub distributor pengusaha distribusi alat tehnik milik salah seorang keluarga mantan presiden BJ. Habibie.
Dari aktivitas itulah penghobi segala jenis olah raga tersebut berkesempatan pergi ke Jerman. Saat itulah Ricky menyadari bahwa persenjataan di dalam negeri harus mulai diproduksi. Ebab, semua potensi bahan dan kemampuan ada.
Persenjataan tidak harus selalu diimpor. Dia pun sempat mengikuti kursus persenjataan . Saat itu, saya berpikir masok ngene ae ngga iso nggawe (hanya begini kok tida bisa membuat0, tegasnya.
Sepulang dari Jerman, Ricky mulai berpikir memproduksi alutsista bagi TNI pada 2005 dia bekerja sama dengan dislitbang TNI Au.
Proyek pertmanya adalah meneliti dan membuat kepala roket kaliber 2.75 inci warhead practice kal 2.75 inchi PSB Smokey). Sebagian bahannya masih impor. Setelah melalui beberapa penelitian, kepala roket latih itu pun sukses dibuat dan layak pakai.
Pada 2007, masih bersama dislitbang TNI AU dia membuat bom latih untuk jet tempur sukhoi 27/30. Bnetuk jadinya dinamai P-100. Artinya pengebom dengan berat 100 kilogram.
Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya sukses. Produksi P-100 saat ini digunakan para penerbang enam peswat tempur sukhoi milik TNI. Sebagai informasi, sejak dibeli TNI AU pada 2003, enam sukhoi itu tidak pernah dipersenjatai karena keterbatasan anggaran pertahanan. P-100 ini kan awal. Kalau tiongkok bisa, mengapa kita tidak bisa, ujarrnya.
Dalam waktu dekat, generasi P-100 dikembangkan. Dia punya konsep untuk membuat dropped bomb yang pintar. Yang dimaksud adalah sebuah bom P-100 (L) yang bisa menemukan sasaran sendiri. Konsekuensinya, saat penembakan, ketinggian pesawat harus berada dia tas 9.000 feet (2.743 meter).
Bahan dasar smart bomb itu sama dengan P-100 (L). Besi nodular yang diolah sendiri dari bijih besi dan baja VCN bisa dibeli dari industri baja dalam negeri. Alat GPS (glbal Positioning system) pun mudah didapat.
Dropped bomb masih punya keunggulan dibanding misil (peluru kendali). Yakni tidak ada panas yang bisa dideteksi radar. Kalau dropped bomb-nya pintar, untuk mengebom ke sasaran, pesawat tak masuk ke daerah lawan. Tahu-tahunya bomnya datang ke sasaran, kata penggiat komunitas anak kolong tersebut.
Selain menyiapkan smart bomb, penggemar otomotis itu sudah membuat roket kaliber 2.75 inci yang dinamai folding fin rocket cal 2.75 inch. Bahan-bahan roket juga terdapat di dalam negeri. Tabung roket dibuat dari campuran beberapa jebis besi. Termasuk fin (ekor atau penyeimbang) bisa dirancang di dalam negeri. Roket tersebut telah diuji coba ground to ground (darat ke darat) dengan daya jelajah 8 kilometer.
Ricky menyatakan, roket tersebut juga cocok untuk sistem persenjataan air to air (udara ke udara) atau air to ground (udara ke darat).
Roket ini buatan sendiri. Tapi untuk bahan pendorongnya, kami minta lapan (lembaga penerbangan dan antariksa nasional) yang mengisi, ucap pria berdarah Menado tersebut.
Selain itu, Ricky mengembangkan usaha membuat mounting stand gun cal 5.56-12.7 milimeter. Alat tersebut digunakan menyetel akurasi senapan milik TNI.Selama ini, untuk menyetel senapan saja, TNI harus menggunakan alat yang diimpor dari luar negeri. Jadi mengapa harus impor, tegasnya.
Ricky menyatakan sangat termotivasi untuk memproduksi persenjataan bagi TNI. Alasannya, produksi persenjataan yang dilakukan 99 persen di dalam negeri sangat menguntungkan dari sisi pertahanan negara. Sebagai anak mantan tentara, tahu bahwa kekuatan pertahanan bisa diketahui dengan mudah jika sebuah negara mengimpor senjata.
Sebaliknya, kalau industri di dalam negeri bisa memproduksi sendiri, negara lain tidak akan mengetahui kapasitas produksinya. Lebih dari itu, dengan menggandeng industri kecil pembuatan senjata lebih efisien dan bisa menyerap tenaga kerja dalam negeri.
Tentu lebih murah karena seluruh bahan dari dalam negeri. Besi bisa dibeli dari pabrik, mesiu dari Dahana atau Pindad. Tinggal pemantik bom (fuse) saja yang diimpor, kata penggemar buku fiksi ilmiah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar