Merasa tertipu di Malaysia, 28 TKI kabur dari perusahaan dan pulang ke Indonesia. Selama 12 hari mereka berjalan kaki menembus hutan perbatasan Serawak-Kalimantan Timur. Dengan bekal seadanya, mereka tiba dengan selamat di Polsek Long Nawang, kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Malam itu, suasana di kamp Shin Yang Menawan Wood SDN Berhad di hutan Serawak cukup hening dan dingin. Hanya buyi genset kecil memecah malam, bersaing dengan suarasuara binatang hutan.
Pukul 22.00, 28 TKI bersiap-siap di kamar masing-masing. Mereka saling memberi kode dan berjaga-jaga. “Semua bekal memang sudah kami kumpulkan,” kata Suhendi, TKI asal Sukabumi, Jawa Barat.
Untuk persiapan pelarian itu, mereka membeli beras di kantin perusahaan untuk bekal perjalanan. “Kami juga mengumpulkan uang untuk membeli lauk,” ungkapnya.
Tepat pukul 23.00, satu per satu TKI yang mayoritas asal Pulau Jawa itu mengendap-endap perlahan keluar kamp. Mereka menerobos pintu belakang menghindari hadangan penjaga. “Kalau lewat depan, ya ketahuan dan pasti ditangkap sama mandornya,” tuturnya.
Malam itu, Suhendi da kawan-kawan memulai petualangan baru, menjelajahi hutan di Kalimantan, perbatasan Indonesia-Malaysia. Sebanyak 28 TKI tersebut awalnya mengaku tidak tahu harus ke mana. “Yang penting keluar dari kamp dulu,” sambung Muhammad Tacob, 25, TKI lainya.
Setelah sukses keluar kamp, mereka berjalan sekitar lima jam dan baru tidur setelah sampai di tengah hutan. Kelalahan tidak membuat mereka sulit memejamkan mata. “Ada juga yang bisa tidur, namun sepertinya dipaksakan,” tambah Yacob.
Paginya, mereka harus terus berjalan masuk ke dalam hutan. Awalnya, semua berjalan biasa-biasa saja. Menginjak hari ke empat perjalanan, ada beberapa TKI yang mulai sakit dan letih. “Biasalah, namanya juga jalan di hutan. Kalau lelah, itu pasti,” ujarnya.
Mereka sakit karena tidak tahan harus tidur tanpa alas apa pun di dalam hutan. “Tidur di tanah hanya beralas pakaian yang kami pakai,” ungkapnya. Meski ada yang sakit, rekan Suhendi lainnya, Sulaiman, mengaku bersyukur selama tidur dan melintasi hutan tak diganggu binatang buas. “Ya paling hanya babi hutan dan monyet,” terangnya.
Bagaimana soal makanan? Karena dalam pelarian, mereka makan seadanya. Bekal mereka hanya 2 kilogram beras dan kecap yang dibawa dari kamp. Demi menghemat bekal, mereka lebih sering makan daun singkong yang banyak ditemukan di hutan. Mereka memasaknya dengan panic kecil yang dibawa dari kamp.
Beruntung, mereka sering berjumpa warga local yang kebetulan melintas di dalam hutan. Biasanya, mereka sedang berburu atau berladang di hutan. Dari warga local yang Suku Dayak itulah para TKI tersebut membeli makanan kebutuhan.
Mereka juga sempat bermalam di kampong warga Dayan punan. Di perkampungan itu, mereka bisa merasakan tidur di tempat layak. “Rasanya sepeerti masih di Serawak, Malaysia,” kata Suhendi.
Pada malam ke tujuh, mereka mulai merasakan tanda-tanda sudah masuk wilayah Indonesia. Tanda tersebut menguat setelah mereka menemukan pos keamanan penjaga perbatasan di Long Nawang.
Mereka semakin yakin telah berada di wilayah Indonesia setelah menjumpai personel TNI yang berjaga disana. “Syukur, akhirnya kami tiba di Long Nawang. Kami menginap di pos pengamanan perbatasan (pamtas),” jelas Yacob.
Pukul 22.00, 28 TKI bersiap-siap di kamar masing-masing. Mereka saling memberi kode dan berjaga-jaga. “Semua bekal memang sudah kami kumpulkan,” kata Suhendi, TKI asal Sukabumi, Jawa Barat.
Untuk persiapan pelarian itu, mereka membeli beras di kantin perusahaan untuk bekal perjalanan. “Kami juga mengumpulkan uang untuk membeli lauk,” ungkapnya.
Tepat pukul 23.00, satu per satu TKI yang mayoritas asal Pulau Jawa itu mengendap-endap perlahan keluar kamp. Mereka menerobos pintu belakang menghindari hadangan penjaga. “Kalau lewat depan, ya ketahuan dan pasti ditangkap sama mandornya,” tuturnya.
Malam itu, Suhendi da kawan-kawan memulai petualangan baru, menjelajahi hutan di Kalimantan, perbatasan Indonesia-Malaysia. Sebanyak 28 TKI tersebut awalnya mengaku tidak tahu harus ke mana. “Yang penting keluar dari kamp dulu,” sambung Muhammad Tacob, 25, TKI lainya.
Setelah sukses keluar kamp, mereka berjalan sekitar lima jam dan baru tidur setelah sampai di tengah hutan. Kelalahan tidak membuat mereka sulit memejamkan mata. “Ada juga yang bisa tidur, namun sepertinya dipaksakan,” tambah Yacob.
Paginya, mereka harus terus berjalan masuk ke dalam hutan. Awalnya, semua berjalan biasa-biasa saja. Menginjak hari ke empat perjalanan, ada beberapa TKI yang mulai sakit dan letih. “Biasalah, namanya juga jalan di hutan. Kalau lelah, itu pasti,” ujarnya.
Mereka sakit karena tidak tahan harus tidur tanpa alas apa pun di dalam hutan. “Tidur di tanah hanya beralas pakaian yang kami pakai,” ungkapnya. Meski ada yang sakit, rekan Suhendi lainnya, Sulaiman, mengaku bersyukur selama tidur dan melintasi hutan tak diganggu binatang buas. “Ya paling hanya babi hutan dan monyet,” terangnya.
Bagaimana soal makanan? Karena dalam pelarian, mereka makan seadanya. Bekal mereka hanya 2 kilogram beras dan kecap yang dibawa dari kamp. Demi menghemat bekal, mereka lebih sering makan daun singkong yang banyak ditemukan di hutan. Mereka memasaknya dengan panic kecil yang dibawa dari kamp.
Beruntung, mereka sering berjumpa warga local yang kebetulan melintas di dalam hutan. Biasanya, mereka sedang berburu atau berladang di hutan. Dari warga local yang Suku Dayak itulah para TKI tersebut membeli makanan kebutuhan.
Mereka juga sempat bermalam di kampong warga Dayan punan. Di perkampungan itu, mereka bisa merasakan tidur di tempat layak. “Rasanya sepeerti masih di Serawak, Malaysia,” kata Suhendi.
Pada malam ke tujuh, mereka mulai merasakan tanda-tanda sudah masuk wilayah Indonesia. Tanda tersebut menguat setelah mereka menemukan pos keamanan penjaga perbatasan di Long Nawang.
Mereka semakin yakin telah berada di wilayah Indonesia setelah menjumpai personel TNI yang berjaga disana. “Syukur, akhirnya kami tiba di Long Nawang. Kami menginap di pos pengamanan perbatasan (pamtas),” jelas Yacob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar