Senin, 8 November 2010 | 07:31 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Kalau saja petinggi militer Indonesia berterus terang tentang apa yang mereka rasakan dan mengganggu agenda TNI, mungkin mereka akan menyalahkan Amerika Serikat (AS). Mengapa?
Negara raksasa ini punya beberapa kebijakan yang menempatkan TNI atau militer Indonesia dalam posisi 'bersalah'. Padahal sebelumnya militer Indonesia merupakan kelompok yang selalu didukung rezim Gedung Putih. Rezim Soeharto (1966-1998) merupakan salah satu pemerintahan militer terpanjang di dunia, memperoleh dukungan AS. Dukungan bervariasi dari aneksasi Timor Portugis menjadi Timor Timur (1975), pembelian pesawat tempur F-16, hingga pelatihan Kopassus.
Sebaliknya, AS juga yang melecehkan sejumlah perwira tinggi militer RI. Letjen Sintong Panjaitan dan Letjen Johny Lumintang merupakan dua di antara perwira tinggi Indonesia yang dilecehkan di wilayah AS. Padahal kedua jenderal itu tergolong prajurit terbaik. Semua berawal dari penilaian AS bahwa kedua jenderal itu bersalah menangani masalah di Timor Timur. Panjaitan dianggap bertanggung jawab atas peristiwa di kuburan Santa Cruz, Dili, Timor Timur. Sebagai Pangdam IX Udayana yang membawahi Bali, NTT hingga Timtim, Panjaitan dinilai bersalah atas tertembaknya sejumlah warga sipil pada Desember 1991 itu.
Saat itu Sintong Panjaitan hendak mengikuti program studi di salah satu perguruan di AS. Dia diminta meninggalkan AS, dengan alasan, melakukan pelanggaran HAM dalam peristiwa Santa Cruz tersebut. Jenderal Lumintang selaku Wakil Kepala Staf Angkatan Darat juga dipersalahkan AS. Karena pada 1999, mengeluarkan radiogram kepada Pangdam Udayana agar merespons tindakan anarki yang dilakukan kelompok anti-Indonesia. Radiogram itu dikeluarkan, berhubung pasca jajak pendapat di provinsi ke-27 RI itu, keselamatan warga pro Indonesia terancam. Respon militer Indonesia menyebabkan jatuhnya korban sejumlah warga sipil Timor Timur. Ketika Lumintang mengadakan perjalanan dinas ke AS, tiba-tiba ia dikejutkan oleh petugas imigrasi dan FBI. Ia diminta meninggalkan AS dalam kesempatan pertama. Jika tidak, dia akan ditahan dan diajukan ke pengadilan federal.
Selain masalah Timtim, AS juga memberikan sanksi kepada pasukan elit Kopassus. Kerja sama AS dan Indonesia dalam pelatihan Kopassus dihentikan gara-gara keterlibatan sejumlah anggota pasukan elit itu dalam penculikan aktivis yang menentang rezim militer pimpinan jenderal Soeharto. Sanksi pemerintah AS ini hingga 2010 belum dicabut. Padahal seorang korban penculikan Pius Listrulanang misalnya sudah menjadi anggota DPR mewakili Partai Gerindra, partai yang didirikan Letjen Prabowo Subianto.
Peristiwa penculikan itu terjadi saat Prabowo sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Pius dan Prabowo sudah bersahabat, tapi AS masih belum mencabut sanksinya. Lain lagi ceritera pembelian pesawat tempur F-16. Pemerintah AS mendorong Indonesia membeli produk negara adidaya itu. Miliaran dolar dana RI mengalir ke industri persenjataan militer AS. Namun AS kemudian melarang pabrikan menjual suku cadang F-16 kepada Indonesia. Satu persatu skuadron F-16 rontok sebab para mekanik Angkatan Udara RI terpaksa melakukan kanibal antar satu pesawat dengan yang lainnya.
Pengalaman pahit itu memang terjadi jauh sebelum Barack Obama terpilih sebagai presiden. Namun dalam kesempatan kunjungannya minggu kedua November 2010 ini, wajar jika Presiden SBY menyegarkan kembali memori pahit ini. Tujuannya agar ke depan hubungan kedua negara menggunakan paradigma sehat dan produktif. Kesetaraan dua negara kalaupun hanya dilakukan dalam hal martabat, bukan dalam soal teknologi, keuangan dan indikator lainnya, tidak menjadi masalah. AS perlu diingatkan bahwa masa depan hubungan kedua negara, tidak bisa lagi ditentukan Washington. Hubungan RI-AS harus saling menguntungkan.
Jika diumpamakan, sepasang muda-mudi, Indonesia ingin 'berpacaran' dengan AS. Tetapi dengan catatan selama belum ada ikatan pernikahan, Indonesia masih bebas berpacaran dengan pihak lain. Hanya dengan metode seperti itu, kesunggguhan AS menjalin hubungan berkelanjutan, dijamin langgeng. Hanya dengan cara itu, AS bisa disadarkan bahwa di luar AS, tidak sedikit 'pacar' yang ingin menjalin hubungan baik dengan Indonesia.Sebut saja dalam pengadaan pesawat tempur. Setelah jaminan suku-cadang F-16 tidak ada, Indonesia mencari alternatif baru dengan melirik pesawat tempur Rusia, Sukhoi.
Keputusan ini membuat AS akan berfikir seribu kali untuk memperlakukan Indonesia seperti negara kecil yang mudah dikendalikan. Sinyal untuk itu sudah terlihat. Menjelang kedatangan Obama, Menhan Robert Gates sudah bertemu dengan mitranya Menhan Purnomo Yusgiantoro. Menurut Menhan RI, agenda hibah F-16 merupakan salah satu topik penting yang dibicarakan Presiden SBY dan Presiden Obama. Jika demikian, agaknya AS akan kembali merangkul militer Indonesia. [mdr/bersambung]
INILAH.COM, Jakarta - Kalau saja petinggi militer Indonesia berterus terang tentang apa yang mereka rasakan dan mengganggu agenda TNI, mungkin mereka akan menyalahkan Amerika Serikat (AS). Mengapa?
Negara raksasa ini punya beberapa kebijakan yang menempatkan TNI atau militer Indonesia dalam posisi 'bersalah'. Padahal sebelumnya militer Indonesia merupakan kelompok yang selalu didukung rezim Gedung Putih. Rezim Soeharto (1966-1998) merupakan salah satu pemerintahan militer terpanjang di dunia, memperoleh dukungan AS. Dukungan bervariasi dari aneksasi Timor Portugis menjadi Timor Timur (1975), pembelian pesawat tempur F-16, hingga pelatihan Kopassus.
Sebaliknya, AS juga yang melecehkan sejumlah perwira tinggi militer RI. Letjen Sintong Panjaitan dan Letjen Johny Lumintang merupakan dua di antara perwira tinggi Indonesia yang dilecehkan di wilayah AS. Padahal kedua jenderal itu tergolong prajurit terbaik. Semua berawal dari penilaian AS bahwa kedua jenderal itu bersalah menangani masalah di Timor Timur. Panjaitan dianggap bertanggung jawab atas peristiwa di kuburan Santa Cruz, Dili, Timor Timur. Sebagai Pangdam IX Udayana yang membawahi Bali, NTT hingga Timtim, Panjaitan dinilai bersalah atas tertembaknya sejumlah warga sipil pada Desember 1991 itu.
Saat itu Sintong Panjaitan hendak mengikuti program studi di salah satu perguruan di AS. Dia diminta meninggalkan AS, dengan alasan, melakukan pelanggaran HAM dalam peristiwa Santa Cruz tersebut. Jenderal Lumintang selaku Wakil Kepala Staf Angkatan Darat juga dipersalahkan AS. Karena pada 1999, mengeluarkan radiogram kepada Pangdam Udayana agar merespons tindakan anarki yang dilakukan kelompok anti-Indonesia. Radiogram itu dikeluarkan, berhubung pasca jajak pendapat di provinsi ke-27 RI itu, keselamatan warga pro Indonesia terancam. Respon militer Indonesia menyebabkan jatuhnya korban sejumlah warga sipil Timor Timur. Ketika Lumintang mengadakan perjalanan dinas ke AS, tiba-tiba ia dikejutkan oleh petugas imigrasi dan FBI. Ia diminta meninggalkan AS dalam kesempatan pertama. Jika tidak, dia akan ditahan dan diajukan ke pengadilan federal.
Selain masalah Timtim, AS juga memberikan sanksi kepada pasukan elit Kopassus. Kerja sama AS dan Indonesia dalam pelatihan Kopassus dihentikan gara-gara keterlibatan sejumlah anggota pasukan elit itu dalam penculikan aktivis yang menentang rezim militer pimpinan jenderal Soeharto. Sanksi pemerintah AS ini hingga 2010 belum dicabut. Padahal seorang korban penculikan Pius Listrulanang misalnya sudah menjadi anggota DPR mewakili Partai Gerindra, partai yang didirikan Letjen Prabowo Subianto.
Peristiwa penculikan itu terjadi saat Prabowo sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Pius dan Prabowo sudah bersahabat, tapi AS masih belum mencabut sanksinya. Lain lagi ceritera pembelian pesawat tempur F-16. Pemerintah AS mendorong Indonesia membeli produk negara adidaya itu. Miliaran dolar dana RI mengalir ke industri persenjataan militer AS. Namun AS kemudian melarang pabrikan menjual suku cadang F-16 kepada Indonesia. Satu persatu skuadron F-16 rontok sebab para mekanik Angkatan Udara RI terpaksa melakukan kanibal antar satu pesawat dengan yang lainnya.
Pengalaman pahit itu memang terjadi jauh sebelum Barack Obama terpilih sebagai presiden. Namun dalam kesempatan kunjungannya minggu kedua November 2010 ini, wajar jika Presiden SBY menyegarkan kembali memori pahit ini. Tujuannya agar ke depan hubungan kedua negara menggunakan paradigma sehat dan produktif. Kesetaraan dua negara kalaupun hanya dilakukan dalam hal martabat, bukan dalam soal teknologi, keuangan dan indikator lainnya, tidak menjadi masalah. AS perlu diingatkan bahwa masa depan hubungan kedua negara, tidak bisa lagi ditentukan Washington. Hubungan RI-AS harus saling menguntungkan.
Jika diumpamakan, sepasang muda-mudi, Indonesia ingin 'berpacaran' dengan AS. Tetapi dengan catatan selama belum ada ikatan pernikahan, Indonesia masih bebas berpacaran dengan pihak lain. Hanya dengan metode seperti itu, kesunggguhan AS menjalin hubungan berkelanjutan, dijamin langgeng. Hanya dengan cara itu, AS bisa disadarkan bahwa di luar AS, tidak sedikit 'pacar' yang ingin menjalin hubungan baik dengan Indonesia.Sebut saja dalam pengadaan pesawat tempur. Setelah jaminan suku-cadang F-16 tidak ada, Indonesia mencari alternatif baru dengan melirik pesawat tempur Rusia, Sukhoi.
Keputusan ini membuat AS akan berfikir seribu kali untuk memperlakukan Indonesia seperti negara kecil yang mudah dikendalikan. Sinyal untuk itu sudah terlihat. Menjelang kedatangan Obama, Menhan Robert Gates sudah bertemu dengan mitranya Menhan Purnomo Yusgiantoro. Menurut Menhan RI, agenda hibah F-16 merupakan salah satu topik penting yang dibicarakan Presiden SBY dan Presiden Obama. Jika demikian, agaknya AS akan kembali merangkul militer Indonesia. [mdr/bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar