Pengadilan Militer Kodam XVII Cendrawasih Jayapura hari Kamis (11/11) menjatuhkan vonis selama lima hingga tujuh bulan kepada empat anggota TNI yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Kasus ini menjadi sorotan setelah video yang berisi rekaman aksi mereka tersebar di situs Youtube.
Namun pegiat HAM menilai hukuman itu tidak akan memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggar HAM Papua. Vonis terberat berupa hukuman penjara selama tujuh bulan dijatuhkan kepada Letnan Dua Infanteri Cosmos yang merupakan komandan pasukan yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga Puncak Jaya Papua pada bulan Maret silam. Sementara tiga prajurit yang terlibat dalam aksi kekerasan itu dijatuhi hukuman masing-masing selama lima bulan.
Boleh banding
Kepala Penerangan Daerah Militer XVII Cenderawasih Letkol Infantri Susilo mengatakan mereka masih diberikan kesempatan untuk melakukan banding. "Satu orang perwira yang pimpin operasi di vonis tujuh bulan, prajuritnya vonis lima bulan. Mereka Diberi kesempatan untuk terima atau banding. Kalau berhentikan harus ada ranah hukum. Kalo pidana, lima tahun dipecat, kalau tujuh bulan belum tentu dipecat," jelas Susilo.
Satu orang perwira yang pimpin operasi di vonis tujuh bulan, prajuritnya vonis lima bulan. Mereka Diberi kesempatan untuk terima atau banding. Kalau berhentikan harus ada ranah hukum. Kalo pidana, lima tahun dipecat, kalau tujuh bulan belum tentu dipecat.
Letkol Susilo
Sebelumnya Oditur militer menuntut mereka hukuman lima bulan penjara untuk komandan pasukan dan masing-masing tiga bulan penjara untuk anggota pasukan yang terlibat dalam aksi tersebut.
Keempatnya didakwa telah melanggar kitab undang-undang hukum pidana militer tentang menolak perintah dinas dengan melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Namun pegiat HAM yang juga staf di Dewan Adat Papua Markus Haluk mengatakan pengadilan ini dan vonisnya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah Indonesia menangani masalah HAM di Papua.
"Harus dijerat pasal kekerasan dan pelanggaran HAM, bukan melanggar perintah atasan. Pelanggaran HAM jelas bahwa sekian tahun dan dipecat dan bukan melanggar perintah atasan. Tapi diam-diam banding dan akhirnya bebas juga. Kalau seperti ini tidak ada efek jera bagi yang lain," jelas Markus Haluk. Kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan di Papua beberapa kali muncul ke permukaan setelah rekaman videonya tersebar di internet.
Dalam peristiwa ini, terekam sejumlah tentara yang menendangi warga sipil dan pemerintah Indonesia mengakui keterlibatan aparat TNI dalam aksi tersebut, yang mendorong ditempuhnya persidangan.
Namun pegiat HAM menilai hukuman itu tidak akan memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggar HAM Papua. Vonis terberat berupa hukuman penjara selama tujuh bulan dijatuhkan kepada Letnan Dua Infanteri Cosmos yang merupakan komandan pasukan yang terbukti melakukan kekerasan terhadap warga Puncak Jaya Papua pada bulan Maret silam. Sementara tiga prajurit yang terlibat dalam aksi kekerasan itu dijatuhi hukuman masing-masing selama lima bulan.
Boleh banding
Kepala Penerangan Daerah Militer XVII Cenderawasih Letkol Infantri Susilo mengatakan mereka masih diberikan kesempatan untuk melakukan banding. "Satu orang perwira yang pimpin operasi di vonis tujuh bulan, prajuritnya vonis lima bulan. Mereka Diberi kesempatan untuk terima atau banding. Kalau berhentikan harus ada ranah hukum. Kalo pidana, lima tahun dipecat, kalau tujuh bulan belum tentu dipecat," jelas Susilo.
Satu orang perwira yang pimpin operasi di vonis tujuh bulan, prajuritnya vonis lima bulan. Mereka Diberi kesempatan untuk terima atau banding. Kalau berhentikan harus ada ranah hukum. Kalo pidana, lima tahun dipecat, kalau tujuh bulan belum tentu dipecat.
Letkol Susilo
Sebelumnya Oditur militer menuntut mereka hukuman lima bulan penjara untuk komandan pasukan dan masing-masing tiga bulan penjara untuk anggota pasukan yang terlibat dalam aksi tersebut.
Keempatnya didakwa telah melanggar kitab undang-undang hukum pidana militer tentang menolak perintah dinas dengan melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Namun pegiat HAM yang juga staf di Dewan Adat Papua Markus Haluk mengatakan pengadilan ini dan vonisnya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah Indonesia menangani masalah HAM di Papua.
"Harus dijerat pasal kekerasan dan pelanggaran HAM, bukan melanggar perintah atasan. Pelanggaran HAM jelas bahwa sekian tahun dan dipecat dan bukan melanggar perintah atasan. Tapi diam-diam banding dan akhirnya bebas juga. Kalau seperti ini tidak ada efek jera bagi yang lain," jelas Markus Haluk. Kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan di Papua beberapa kali muncul ke permukaan setelah rekaman videonya tersebar di internet.
Dalam peristiwa ini, terekam sejumlah tentara yang menendangi warga sipil dan pemerintah Indonesia mengakui keterlibatan aparat TNI dalam aksi tersebut, yang mendorong ditempuhnya persidangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar