Minggu, 28 Februari 2010

Rumah Jenderal Pun Digusur Mabesad

Minggu, 28 Pebruari 2010 05:26 WIB Artikel Pumpunan Dibaca 21 kali
Jakarta (ANTARA News) - Warga Kompleks perumahan eks Batalion Angkutan dan Perhubungan (Angkub) TNI-AD di Kelurahan Kramatjati, Jakarta Timur merasa resah karena mereka didatangi sejumlah prajurit Direktorat Perbekalan dan Angkutan) TNI-AD yang bersenjata lengkap hanya untuk melakukan pendataan.

"Warga kami merasa resah dengan ini. Kami merasa diintimidasi apalagi mereka datang memakai baju dinas dan berseragam lengkap," kata Ketua RT-RW 02, Hery Hidayat di Kramatjati baru-baru ini. Hery Hidayat mengatakan para prajurit berseragam lengkap ini datang untuk mencatat identitas para penghuni, riwayat bangunan serta status bangunan.TNI terutama TNI-AD menghadapi persoalan pelik karena di satu pihak mereka kekurangan ratusan ribu rumah untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi ratusan ribu prajuritnya, namun di lain pihak banyak perumahan atau kompleks yang masih juga ditempati para purnawirawan, istri dan keluarganya, bahkan sudah dijual kepada pihak ketiga ataupun alih fungsi sebagai tempat usaha bisnis.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro baru-baru ini mengatakan bahwa pihaknya telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk membangun rumah terutama rumah susun guna memenuhi kebutuhan mendesak para prajuritnya. Kebutuhan mendesak ini telah mengakibatkan TNI untuk mulai melakukan penggusuran yang tidak hanya berlangsung di Jakarta tapi juga di berbagai kota lainnya seperti Bandung dan Makassar. Akibatnya para purnawirawan serta keluarga melakukan perlawanan.Penggusuran atau pengusiran ini tidak hanya terjadi terhadap para prajurit mulai dari tamtama, bintara, hingga perwira pertama tapi juga para jenderal purnawirawan misalnya yang terjadi para penghuni Kompleks Perumahan Angkatan Darat di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang terletak di belakang Balai Kartini. Walaupun penggusuran ini telah berlangsung tahun 2006, kejadian itu tetap membayang pada benak eks penghuni hingga saat ini.

Kompleks TNI-AD itu yang dibangun sekitar tahun 1969-1970 semula hanya memiliki sekitar 30 rumah bagi para perwira TNI-AD. Namun kemudian pembangunan terus dilakukan hingga mencapai dua kali lipat. Kemudian di sana mulai dibangun rumah jabatan para pimpinan AD seperti kasad, wakasad serta para asistennya.

Akibatnya, kemudian kompleks ini lebih dikenal sebagai perumahan pati atau perwira tinggi. Seiring dengan mulai bertambahnya usia para penghuni awal berdirinya perumahan ini serta terus bertambahnya jumlah para jenderal, maka di Markas Besar AD (Mabesad) mulai muncul gagasan untuk menyuruh pergi para purnawirawan tersebut. Tentu saja, wacana itu ditentang keras para penghuninya apalagi bangunan pada masing-masing rumah mereka pada umumnya sudah ditambah atau diperluas sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga.

Sebelum para jenderal purnawirawan itu berhasil digusur sekitar tahun 2006, telah terjadi perundingan demi perundingan yang berjalan sangat alot. Para pejabat Mabad berulang kali mengirimkan staf atau bawahan mereka agar para penghuni mau secara sukarela meninggalkan rumah yang telah puluhan tahun mereka huni.

"Cara keras"
Karena perundingan di antara kedua pihak tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan para petinggi TNI-AD maka mereka mulai mencari "cara-cara lain" walaupun tidak seperti kasus Kramatjati yang mendatangkan prajurit bersenjata lengkap. Para pedagang sayur-mayur yang biasanya setiap hari bebas berkeliaran masuk perumahan ini mulai dilarang masuk. Kemudian mereka mendatangkan alat-alat besar guna merusakkan jalan kompleks . Bahkan pada malam hari, alat-alat berat itu dihidupkan mesinnya sehingga membuat para penghuni tidak bisa tidur nyenyak.

Pada satu saat, seorang penghuni jenderal purnawirawan yang sangat terkenal di tanah air karena pernah menjadi gubernur Jawa Barat dan memimpin Pramuka dalam waktu yang cukup lama bertemu dengan seorang perwira menengah yang merupakan komandan detasemen markas (Denma) Mabad. Karena kebetulan komandan Denma ini berasal dari Jawa Barat, maka sang jenderal purnawirawan ini ingin menggunakan Bahasa Sunda. agar dialog berjalan lancar.

Namun tiba-tiba muncul jawaban yang aneh atau menakjubkan, "Saya tidak mau menggunakan Bahasa Sunda karena ini adalah pembicaraan dinas dan bukan pembicaraan pribadi". Mendengar jawaban dari yuniornya itu, mantan gubernur Jabar itu merasa sangat terpukul dan kecewa.

Akhirnya penggusuran tetap berlangsung dan kemudian muncul penghuni-penghuni baru.Ketika mengomentari rencana pengusiran atau penggusuran di masa mendatang, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan bahwa kalaupun ada jeda sementara atau penghentian sementara maka hal itu hanya akan dilakukan terhadap rumah yang masih dihuni purnawirawan, atau warakawuri (istri purnawirawan) serta anak-anak mereka.

Akan tetapi, kata Sjafrie, jika sudah diberikan kepada keluarga lain atau bahkan sudah terjadi alih fungsi seperti menjadi tempat usaha maka penggusuran akan tetap dilaksanakan. Sebuah rumah dinas pada dasarnya hanya boleh dihuni oleh prajurit TNI beserta istri dan anak-anaknya. Tapi kalau prajurit tersebut dan istrinya sudah meninggal maka anak-anaknya harus keluar karena mereka tidak berhak lagi.

Tapi yang menjadi persoalan adalah banyak rumah dinas yang tetap dihuni oleh anak-anak purnawirawan selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, sementara di lain pihak TNI sama sekali tidak berupaya mengambil alih rumah-rumah tersebut. Akibatnya, kini timbul dilemma, karena di satu pihak keluarga purnawirawan menolak dipindahkan sedangkan di lain pihak TNI membutuhkan rumah-rumah itu untuk ribuan prajurit aktifnya.

Karena itu, yang kini dibutuhkan adalah sikap bijaksana tapi tegas dari pimpinan TNI terutama TNI-AD serta pucuk pimpinan Kementerian Pertahanan agar penanganan perumahan ini tidak berlarut-larut serta jangan ada kesan TNI tidak mau memperhatikan lagi para purnawirannya dengan bersikap "habis manis, sepah dibuang".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog