Selasa, 10 Agustus 2010

Terorisme dan Politik Pengalihan

Tuesday, 10 August 2010 Seputar Indonesia

INFORMASI bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diancam teroris kembali menggema. Kali ini diucapkan Presiden SBY saat meninjau Sekolah Calon Tamtama Resimen Kodam Siliwangi, Bandung, Sabtu lalu (7/8).

Ini bukan pertama kali Presiden SBY mengungkapkan adanya ancaman teroris terhadap dirinya. Pada 17 Juli 2009, saat terjadi serangan bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott di bilangan Kuningan, Jakarta, pada konferensi pers Presiden mengungkapkan adanya teroris yang berlatih menembak dengan sasaran fotonya. Pada 22 Januari 2010, sekali lagi Presiden mengungkapkan di Markas Komando Pasukan Pengamanan Presiden bahwa ada teroris yang mengancam dirinya.

Ilustrasi mengenai ancaman terhadap Presiden itu semakin menyeramkan ketika ada sekelompok teroris yang katanya bergerak di sekitar Jati Asih, Bekasi, yang kemudian rumah di wilayah permukiman tersebut ada yang digerebek polisi.Ancaman yang terjadi di Ciwidey,Bandung,Jawa Barat kali ini juga diikuti penangkapan- penangkapan terhadap orang-orang yang diduga teroris. Kali ini semakin seram lagi karena Polri juga menangkap mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir di Ciamis, Jawa Barat, kemarin. Ini langsung diinformasikan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang. Kita tahu bahwa jabatan presiden adalah penguasa tertinggi di negeri ini. Presiden adalah juga lambang kedaulatan negara. Sebagai warga negara Indonesia yang baik,siapa pun dia,tentu kita tidak rela bila presiden kita diancam oleh teroris, baik dari dalam maupun luar negeri. Kita juga tahu bahwa karena posisi jabatan tersebut, seorang presiden dapat saja menjadi target dari tindakan antinegara. Namun, apakah benar Presiden SBY menjadi target ancaman teroris? Apakah gerakan terorisme telah berubah dari yang semula targetnya masyarakat biasa yang tidak berdosa (low target) menjadi bertarget pejabat tinggi negara (high target)?

Secara teoretis, siapa pun Presiden Republik Indonesia, dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai ke SBY,dapat saja menjadi target ancaman pembunuhan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab meski belum pasti orang-orang itu atau kelompoknya adalah teroris. Di masa Soekarno, misalnya, dia pernah menjadi target pembunuhan saat mengunjungi Perguruan Cikini, Jakarta, pada 1950- an. Moncong meriam tentara juga pernah diarahkan ke Istana Merdeka pada Peristiwa 17 Oktober 1952 saat terjadi konflik antara parlemen dan ABRI yang menyebabkan tentara mendesak Presiden Soekarno membubarkan parlemen.

Namun, sebagai seorang demokrat, bukan parlemen yang dibubarkan Soekarno saat itu,melainkan Kolonel Nasution dicopot dari jabatannya sebagai pimpinan TNI AD. Lepas dari adanya laporan intelijen ataupun aparat keamanan tentang kemungkinan adanya ancaman terhadap para presiden tersebut, hanya Presiden SBY yang sering mengungkapkan kepada publik akan adanya ancaman teroris itu dan jumlahnya cukup banyak. Memang benar foto SBY pernah menjadi target latihan tembak teroris, tapi itu terjadi menjelang Pemilu Presiden 2004 (bukan Juli 2009) dan bukan hanya foto SBY yang jadi target, melainkan fotofoto semua calon presiden dan wakil presiden saat itu.

Pernah juga muncul berita atau isu bahwa para teroris bersiap- siap untuk melakukan pembunuhan terhadap para pemimpin negara dan tamu-tamu asing pada saat perayaan 17 Agustus 2010 di Istana Merdeka.Jika berita itu benar, terkutuklah warga negara yang memiliki niat untuk melakukan itu. Kalau peristiwa itu tidak dapat dicegah,kita patut bertanya apakah pengamanan terhadap orang-orang yang amat penting (very very important persons/VVIP) demikian lemahnya? Apakah intelijen negara kita tidak lagi berfungsi baik untuk melakukan pencegahan atas pendadakan strategis semacam itu? Tanggung jawab untuk melindungi presiden adalah tanggung jawab kita semua, terlebih lagi para aparat negara yang memang bertugas untuk itu.

Kita berharap bahwa peristiwa seperti di Mesir, saat Presiden Anwar Sadat ditembak mati oleh sekelompok tentara dari aliran politik tertentu yang sedang melakukan defile pasukan,tidak akan terjadi di negeri ini. Kita juga yakin bahwa aparat intelijen kita,TNI, dan Polri memiliki kecanggihan khusus untuk melindungi presiden dan para pejabat penting serta tamu-tamu agung pada 17 Agustus 2010 ini.

Karena itu, di tengah kegerahan rakyat atas kesulitan ekonomi yang mereka rasakan akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, atas perilaku sebagian wakil rakyat yang kinerjanya buruk, dan atas kinerja kabinet yang kurang memuaskan, kita patut bertanya apakah berita mengenai ancaman teroris terhadap orang nomor satu di negeri ini tersebut merupakan bagian dari politik pengalihan ataukah sungguhan? Jika ini bagian dari politik pengalihan, kita jadi bertanya, apa yang dilakukan pemerintah selama ini untuk memperbaiki kondisi di negeri ini? Mengapa pula rakyat terus ditakut-takuti oleh adanya ancaman itu?

Selama ini kita juga melihat bahwa kinerja Polri, khususnya Detasemen 88, dalam menangani terorisme patut diberi acungan jempol walau ada juga peristiwa yang dibesar-besarkan dan menjadi isapan jempol semata. Polri dapat dikatakan sebagai institusi yang mungkin lebih canggih dibandingkan institusi serupa di negara lain,termasuk di Amerika Serikat, dalam menangani terorisme, walau hal yang melanggar hak-hak asasi manusia dalam penanganan itu perlu dikurangi. Kita juga sering mendengar ucapan Presiden SBY bahwa TNI akan dilibatkan dalam hal-hal khusus pada penanganan terorisme walau hingga kini kita juga belum mendengar atau membaca dikeluarkannya peraturan pemerintah yang memungkinkan hal itu terjadi. Dengan kata lain,ucapan Presiden tidak dilanjutkan dengan dikeluarkannya aturan negara agar TNI––khususnya Detasemen 81 Kopassus TNI AD,Detasemen Jala Mengkara (Denjaka) Marinir TNI AL, dan Paskhas TNI AU––diberi tugas khusus untuk ikut menangani terorisme. Terorisme selama ini dipandang lebih sebagai pelanggaran hukum negara,karena itu tidaklah mengherankan jika Polri merupakan institusi terdepan untuk menangani hal itu.Terorisme belum merupakan ancaman terhadap lambang-lambang negara, seperti presiden, karena itu TNI belum diturunkan.Jika demikian halnya, patutkah Presiden mengungkapkan adanya ancaman terhadap dirinya yang akan dilakukan kelompok teroris?

Dalam situasi yang mendesak, Presiden dapat saja mengeluarkan keputusan politik agar TNI dilibatkan dalam menangani terorisme.Jika keputusan itu tidak dikeluarkan, berarti negara belum dalam keadaan bahaya. Karena itu,patut diduga bahwa pernyataan Presiden SBY bahwa dirinya diancam teroris lebih merupakan bagian dari politik pengalihan ketimbang situasi riil! (*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog