Rabu, 28 Juli 2010 22:49 WIB Penulis : Amahl Sharif Azwar
JAKARTA--MI: Reformasi TNI pada hakekatnya merupakan pengembalian fungsi militer sesuai dasar-dasar negara. Kendati demikian, reformasi TNI berlangsung di saat yang sama dengan transisi demokrasi. Sehingga, terjadi kebingungan dan inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan.
JAKARTA--MI: Reformasi TNI pada hakekatnya merupakan pengembalian fungsi militer sesuai dasar-dasar negara. Kendati demikian, reformasi TNI berlangsung di saat yang sama dengan transisi demokrasi. Sehingga, terjadi kebingungan dan inkonsistensi dalam peraturan perundang-undangan.
Pernyataan tersebut disampaikan Letjen (Purn) Agus Widjojo pada diskusi di Jakarta, Rabu (28/7). Ia menilai TNI merupakan sebuah lembaga yang lahir dari tentara pejuang kemerdekaan. Sejak 1945 hingga Orde Baru, TNI berada dekat kekuasaan sehingga pengaruhnya pun meluas. TNI tidak hanya memainkan peran profesional tetapi juga peran kekuasaan. Kondisi politik Tanah Air pada saat itu memungkinkan TNI untuk berperan seperti itu.
Setelah reformasi, seyogianya posisi TNI dikembalikan menjadi instrumen pertahanan nasional saja. Namun, Indonesia juga berada di masa transisi demokrasi sehingga inkonsistensi sering terjadi. Mantan Kepala Staf Teritorial TNI itu membandingkan paradigma peran sosial politik TNI tahun 1999 dengan 2001. Pada 1999, model peran sosial politik TNI secara tidak langsung masih ada di bawah doktrin dwifungsi ABRI. Dua tahun kemudian, TNI meninggalkan doktrin dwifungsi dan memusatkan perhatian pada pertahanan saja.
Agus pun berargumen pendidikan adalah faktor kunci untuk melewati masa transisi. Selama ini, reformasi TNI tidak berjalan linear tapi bertahap sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat. Terakhir, Agus mengemukakan reformasi TNI tidak dapat bergantung pada militer saja. Determinasi kesuksesan reformasi TNI ditentukan oleh reformasi pada tingkat dan lingkup nasional, khususnya bidang politik. (*/OL-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar