Keluarga Orang Hilang Anggap Terburu-Buru
JAKARTA - Sehari setelah Menteri Pertahanan AS Robert Gates bertemu dengan Presiden SBY, keluarga korban penculikan dan orang hilang pada 1998 berkumpul di Kantor Kontras, Jakarta Pusat. Menurut mereka, AS terlalu terburu-buru menyatakan akan membuka lagi bantuan militer untuk Kopassus TNI-AD.
"Apalagi, ada pernyataan bahwa penyelesaian masalah HAM sudah tuntas. Kami sebagai korban sangat kecewa. Sebab, AS adalah negara yang sangat peduli dengan HAM," ujar Koordinator Ikatan Orang Hilang (Ikohi) Mugiyanto kemarin (23/7).
Aktivis yang juga diculik pada 1998 itu menilai Gates terlalu gegabah karena menyatakan bahwa reformasi TNI sukses sehingga Washington bersedia memulihkan kerja sama dengan TNI, khususnya Kopassus."Di pengadilan, belum terang perkara dan nasib teman-teman kami yang hingga kini tak diketahui. Lantas, kapan selesainya?" tutur dia.
Pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah, itu merupakan satu di antara sembilan korban penculikan pada 1998 yang selamat. Delapan korban lain adalah Aan Rusdianto, Andi Arief, Desmond Junaidi Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Nezar Patria, Pius Lustrilanang, dan Raharja Waluya Jati.
Korban penculikan yang masih hilang hingga kini adalah Yani Afri, Noval Al Katiri, Dedy Umar, Ismail, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Yadi Muhidin, Hendra Hambali, Ucok M. Siahaan, M. Yusuf, Sonny, dan Wiji Thukul. Seorang korban lagi, Leonardus "Gilang" Nugroho, ditemukan tewas.
"Itu diplomasi tidak baik, membohongi seolah masalah pelanggaran HAM sudah diselesaikan dengan baik. Padahal, kami selaku korban merasa ketidakadilan tersebut masih ada," tutur Mugiyanto. Sebelumnya, setelah bertemu SBY, Gates menyatakan puas dengan reformasi TNI. Selanjutnya, AS bersedia membuka lagi bantuan untuk militer Indonesia, terutama Kopassus, setelah mengembargonya sejak 1997.
Pelatihan dan bantuan terhadap Kopassus oleh AS dihentikan karena dugaan sejumlah pelanggaran HAM oleh prajurit baret merah tersebut pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, baik dalam kasus Timor Timur maupun awal gerakan reformasi. Pada tahun yang sama, senat AS mengesahkan undang-undang yang disebut Leahy Law. UU tersebut melarang AS melatih militer negara asing yang punya sejarah pelanggaran HAM. Kecuali, militer yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM tersebut telah diproses secara hukum.
Soal tawaran AS itu, Panglima TNI Djoko Santoso memastikan bahwa selurus proses hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh Kopassus telah tuntas. TNI juga sudah berkomitmen menanamkan doktrin HAM kepada setiap prajurit. Sumarsih, ibu salah seorang aktivis yang hilang, Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, pun kesal atas pernyataan Menhan AS. "Kami akan meminta bantuan itu dibatalkan saja," terang dia.
Selama 12 tahun Sumarsih hilir mudik berdemo untuk menuntut keadilan bagi anaknya. "Kami, keluarga para korban, tak akan pernah rela mereka dihilangkan secara tidak manusiawi. Kami berharap AS ikut melihat itu sebagai bukti bahwa HAM belum tegak di Indonesia," tegas dia. (rdl/c11/dwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar