AS Tawari Jadi Negara Bagian seperti Hawaii
Jawa Post
NATUNA –Sebuah buku yang menceritakan Perjuangan mantan Bupati Natuna Daeng Rusnadi menggegerkan masyarakat setempat. Buku yang ditulis Peter A. Rohi itu berjudul Natuna Kapal lnduk Amerika.
Sebagian besar warga yang membaca buku tersebut menilai isinya bernuansa separatisme. Buku setebal 184 halaman itu diterbitkan Adibatama Komunika dan mulai beredar awal bulan ini. Secara garis besar, buku tersebut menggambarkan posisi strategis Natuna yang berdekatan dengan Pulau Sparty. Pulau Spartly menjadi rebutan enam negara: Digambarkan, kapal-kapal dari Armada 7 Amerika Serikat yang berpangkalan di Yokosuka, Jepang, sering bermanuver mendekati Natuna.
Buku itu memaparkan adanya rencana pertemuan Daeng bersama Presiden Riau Merdeka Tabrani Rab di Singapura 2003. Pertemuan itu juga akan dihadiri tokoh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) Hasan Tiro dan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay.
Mereka akan dipertemukan dengan duta besar AS di Singapura. Agendanya, membahas tawaran AS kepada Natuna untuk menjadi negara bagian negeri itu layaknya Hawaii. Dalam buku itu dijelaskan bahwa Daeng menolak tawaran tersebut. Sementara Tabrani terus merayu dengan mengatakal) bahwa Natuna memiliki nilai strategis bagi AS. Tabrani menggambarkan Natuna layaknya kapal induk bagi AS karena berhadapan langsung dengan tujuh negara.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Natuna Imalko menyayangkan terbitnya buku tersebut. Dia khawatir buku itu akan mengembangkan isu-isu baru yang meresahkan masyarakat. "Saya khawatir, ini akan berkembang. Dan, bukan tidak mungkin, bisa menjadi embrio yang didalangi segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencoba memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata lmalko. Dia menambahkan, apalagi sebelumnya sudah ada segelintir orang yang menyatakan bahwa Natuna merdeka. "Hal ini jangan sampai dibiarkan. Kalau perlu, aparat penegak hukum mencari siapa dalang semua ini," ujarnya.
Komandan Distrik Militer (Dandim) 0318 Natuna I Wayan Aditya mengatakan, dirinya hingga kini belum membaca buku tersebut. Tetapi, apa pun alasannya, kata Dandim, NKRI merupakan harga mati yang harus dipertahankan. "Kami (TNI, Red) tidak mau tahu alasannya. Yang pasti, NKRI harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa pun pelakunya akan saya sikat," ujarnya geram.
Tokoh masyarakat yang juga mantan wakil ketua DPRD Natuna M. Djamil juga angkat bicara. Sepengetahuannya, Natuna merupakan daerah yang sangat kondusif. Namun, jika tidak dijaga, daerah itu juga rawan dicapIok negara lain. "Dari dulu belum pernah saya dengar ada separatisme di Natuna. Tapi, kok sekarang malah ramai orang-orang membicarakan itu," ujar mantan anggota polisi itu.
Ketua Badan Perjuangan Rakyat Natuna (BPRN) Aminullah juga menyayangkan terbitnya buku tersebut. "Mengapa isu ini harus diungkapkan sekarang? PadahaI, dulu tenang-tenang saja. Ada apa ini?" ujarnya heran. (cca/jpnn/ruk)
Jawa Post
NATUNA –Sebuah buku yang menceritakan Perjuangan mantan Bupati Natuna Daeng Rusnadi menggegerkan masyarakat setempat. Buku yang ditulis Peter A. Rohi itu berjudul Natuna Kapal lnduk Amerika.
Sebagian besar warga yang membaca buku tersebut menilai isinya bernuansa separatisme. Buku setebal 184 halaman itu diterbitkan Adibatama Komunika dan mulai beredar awal bulan ini. Secara garis besar, buku tersebut menggambarkan posisi strategis Natuna yang berdekatan dengan Pulau Sparty. Pulau Spartly menjadi rebutan enam negara: Digambarkan, kapal-kapal dari Armada 7 Amerika Serikat yang berpangkalan di Yokosuka, Jepang, sering bermanuver mendekati Natuna.
Buku itu memaparkan adanya rencana pertemuan Daeng bersama Presiden Riau Merdeka Tabrani Rab di Singapura 2003. Pertemuan itu juga akan dihadiri tokoh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) Hasan Tiro dan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay.
Mereka akan dipertemukan dengan duta besar AS di Singapura. Agendanya, membahas tawaran AS kepada Natuna untuk menjadi negara bagian negeri itu layaknya Hawaii. Dalam buku itu dijelaskan bahwa Daeng menolak tawaran tersebut. Sementara Tabrani terus merayu dengan mengatakal) bahwa Natuna memiliki nilai strategis bagi AS. Tabrani menggambarkan Natuna layaknya kapal induk bagi AS karena berhadapan langsung dengan tujuh negara.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Natuna Imalko menyayangkan terbitnya buku tersebut. Dia khawatir buku itu akan mengembangkan isu-isu baru yang meresahkan masyarakat. "Saya khawatir, ini akan berkembang. Dan, bukan tidak mungkin, bisa menjadi embrio yang didalangi segelintir orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencoba memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata lmalko. Dia menambahkan, apalagi sebelumnya sudah ada segelintir orang yang menyatakan bahwa Natuna merdeka. "Hal ini jangan sampai dibiarkan. Kalau perlu, aparat penegak hukum mencari siapa dalang semua ini," ujarnya.
Komandan Distrik Militer (Dandim) 0318 Natuna I Wayan Aditya mengatakan, dirinya hingga kini belum membaca buku tersebut. Tetapi, apa pun alasannya, kata Dandim, NKRI merupakan harga mati yang harus dipertahankan. "Kami (TNI, Red) tidak mau tahu alasannya. Yang pasti, NKRI harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa pun pelakunya akan saya sikat," ujarnya geram.
Tokoh masyarakat yang juga mantan wakil ketua DPRD Natuna M. Djamil juga angkat bicara. Sepengetahuannya, Natuna merupakan daerah yang sangat kondusif. Namun, jika tidak dijaga, daerah itu juga rawan dicapIok negara lain. "Dari dulu belum pernah saya dengar ada separatisme di Natuna. Tapi, kok sekarang malah ramai orang-orang membicarakan itu," ujar mantan anggota polisi itu.
Ketua Badan Perjuangan Rakyat Natuna (BPRN) Aminullah juga menyayangkan terbitnya buku tersebut. "Mengapa isu ini harus diungkapkan sekarang? PadahaI, dulu tenang-tenang saja. Ada apa ini?" ujarnya heran. (cca/jpnn/ruk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar