JAKARTA, KOMPAS.com — Perluasan dan penambahan struktur Komando Teritorial (Koter) di daerah dinilai hanya akan menguras uang negara.
Alasannya, Koter sudah tidak relevan lagi dengan konteks geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Demikian pernyataan sikap beberapa lembaga yang terdiri dari Imparsial, KontraS, IDSPS, Infid, PBHI, HRWG, KASUM, ICW, Praxis, dan Propatria Institute. "Pembentukan Kodam baru memerlukan ongkos yang mahal. Bahkan bisa mencapai hingga Rp 100 triliun. Padahal, negara kita masih kekurangan dana untuk mencukupi kebutuhan dasar rakyat," ungkap perwakilan Praxis, Andi Yuwono, Rabu (30/6/2010) di Jakarta.
Komando teritorial tersebar mengikuti struktur pemerintahan daerah, contohnya Mabes TNI (nasional), Kodam (provinsi), Kodim (kabupaten), dan Koramil (kecamatan). TNI AD baru saja menambah Kodam VI/Mulawarman di Kalimantan Timur pada 28 Juni 2010. Tindakan TNI ini kemudian mengundang kritik berbagai pihak. Kritik juga datang dari perwakilan Imparsial, Al-Araf, yang menilai perluasan Koter sudah tidak relevan lagi dengan ancaman keamanan yang dihadapi Indonesia sekarang ini. Menurut dia, pengembangan struktur teritorial yang diagendakan TNI AD adalah pola lama yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang TNI soal restrukturisasi komando teritorial.
Pada Pasal 11 UU TNI disebutkan, penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan. Menilik sejarahnya, pembentukan Koter ini sebenarnya terjadi pada masa penjajahan. Pada saat itu, tentara Indonesia tidak bisa melakukan perang terbuka karena sudah kalah persenjataan. Maka dari itu, dilakukan perang gerilya dengan penggalangan dukungan masyarakat melalui Koter-koter yang tersebar di provinsi hingga pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar